Umar Syadat Hasibuan atau Gus Umar
JAKARTA — Kritik terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) makin tajam menyusul mencuatnya kasus dugaan suap
yang melibatkan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus pegiat media
sosial, Umar Hasibuan, secara terbuka menantang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk mengusut serius kasus tersebut.
Gus Umar, begitu ia disapa, menuding Komisi Pemberantasan
Korupsi hanya berani menindak kasus yang menyeret Sekjen PDIP Hasto
Kristiyanto, tetapi cenderung bungkam dalam kasus yang diduga menyeret Yaqut.
"Ahhh KPK beraninya cuma dengan Hasto doank, kalau sama
Yaqut langsung melempem," kata Gus Umar di X @UmarHasibuan__ (10/3/2025).
Pernyataan ini memicu respons dari warganet dan sejumlah
pengamat politik, yang mempertanyakan independensi KPK dalam menangani
kasus-kasus besar.
Sejumlah pihak mendesak lembaga antirasuah itu untuk tidak
tebang pilih dalam mengusut dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi
negara.
Sebelumnya, penetapan kuota haji 2025 kembali membuka
perbincangan mengenai dugaan penyimpangan dalam pengelolaan kuota haji di era
mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.
Ia dituding terlibat dalam pengalihan dan jual beli kuota
haji yang dianggap melanggar ketentuan hukum.
Kasus ini bermula dari hasil investigasi Panitia Khusus
(Pansus) Angket Haji DPR yang dibentuk setelah Tim Pengawas (Timwas) Haji
menemukan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan haji 2024.
Pansus tersebut resmi dibentuk melalui rapat paripurna DPR
pada 4 Juli 2024 untuk mengevaluasi penyelenggaraan haji tahun 1445 Hijriah.
Akibat dugaan penyalahgunaan wewenang ini, Yaqut dilaporkan
ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh lima kelompok masyarakat serta
Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan Rakyat (Amalan Rakyat).
Koordinator Amalan Rakyat, Raffi Maulana, menilai Yaqut
bertindak sepihak dengan mengalihkan 50 persen kuota haji reguler ke haji
khusus.
Keputusan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang mengatur bahwa kuota
haji khusus hanya boleh sebesar 8 persen dari total kuota haji Indonesia.
Namun, dalam praktiknya, Kementerian Agama menetapkan kuota
haji khusus sebesar 27.680 atau 11 persen dari total 241 ribu kuota haji Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika,
menyatakan bahwa pihaknya siap menyelidiki dugaan gratifikasi dalam pengelolaan
kuota haji khusus pada 2024.
"KPK juga terbuka dan jika Pansus Haji ingin bekerja
sama mengusut dugaan dimaksud," ujar Tessa.
Ia juga menegaskan bahwa keterlibatan KPK bertujuan untuk
memastikan transparansi serta keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Hanya saja, hingga saat ini, KPK belum menerima permintaan
resmi dari Pansus Haji DPR untuk mendukung investigasi kasus ini. (fajar)