JAKARTA              Hasil riset yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, menunjukkan Indonesia memperoleh skor 6,44 pada Indeks Demokrasi tahun 2024. Angka ini menunjukkan Indonesia kembali mengalami kemunduran dalam hal demokrasi.

 

Indonesia tercatat turun tiga peringkat dari posisi 56 ke posisi 59 dari total 167 negara yang diteliti kondisi demokrasinya. Jika dibandingkan dengan tahun 2023, Indonesia memperoleh skor 6,53. Sementara pada tahun 2022, capaian indeks demokrasinya sebesar 6,71.

 

Hasil ini menjadikan Indonesia setidaknya tiga tahun berturut-turut masuk dalam kategori demokrasi cacat. Terjebaknya Indonesia dalam kategori demokrasi cacat menunjukkan belum adanya perbaikan dalam penerapan asas-asas demokrasi dalam bernegara di Indonesia.

 

Dalam dokumen penelitiannya, EIU memaparkan beberapa hal yang menjadi komponen penilaian mereka terhadap kemajuan demokrasi di berbagai negara di dunia. Beberapa komponen tersebut adalah proses pemilihan umum dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.

 

“Pada tahun 2024, dua kategori yang mencatatkan penurunan terbesar adalah fungsi pemerintahan dan proses pemilihan serta pluralisme,” tulis EIU dalam dokumen yang diterima oleh Tempo, Rabu, 5 Maret 2025.

 

Indonesia sendiri mendapat skor yang cukup buruk untuk dua komponen penilaian, yaitu budaya politik dan kebebasan sipil. Untuk komponen budaya politik, Indonesia hanya diberikan skor 5. Sementara untuk urusan kebebasan sipil, Indonesia mentok mendapatkan skor 5,29.

 

Ada beberapa hal yang menjadi sorotan dari EIU terhadap jalannya demokrasi di Indonesia pada tahun lalu. Fokus utama penilaian mereka adalah jalannya hajat politik di tanah air yang mencakup pemilihan presiden, pemilihan legislatif, hingga pemilihan kepala daerah.

 

EIU menyoroti tren politik dinasti yang terjadi di Indonesia. Terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden dinilai sarat dengan intrik politik dinasti dan sentralisasi kekuasaan.

 

“Aliansi Prabowo dengan pendahulunya (Jokowi) telah menimbulkan kekhawatiran tentang sentralisasi kekuasaan dan kurangnya pengawasan serta keseimbangan,” kata EIU.

 

Kekhawatiran soal politik dinasti juga terjadi di negara lainnya di lingkup ASEAN. Di Thailand, putri mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra terpilih menjadi Perdana Menteri termuda negara itu pada Agustus 2024.

 

Sementara itu di Filipina, putra mantan diktator Ferdinan Marcos dan putri mantan presiden sebelumnya Rodrigo Duterte berhasil merebut tampuk kekuasaan tertinggi di negeri itu. (tempo)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.