Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra
JAKARTA — Anggota Komisi III DPR RI Soedeson
Tandra menyoroti eksekusi rumah warga di Setia Mekar, Kabupaten Bandung yang
dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. Menurutnya, eksekusi tersebut diduga
melanggar prosedur hukum, mulai dari tidak adanya proses Anmaning hingga salah
sasaran dalam eksekusi tanah.
Soedeson menyampaikan hal itu usai mendengar aspirasi warga
korban penggusuran dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja
Mafia Tanah di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/2).
“Soal Bekasi ini ada persoalan. Biasanya, sebelum eksekusi
dilakukan, Ketua Pengadilan Negeri setempat harus memanggil pihak tereksekusi
dan memberikan teguran terlebih dahulu dalam proses yang disebut Anmaning,”
ujar Soedeson.
Namun, dalam kasus ini, anggota Fraksi Partai Golkar itu
menilai prosedur tersebut tidak dilakukan. Selain itu, berdasarkan keterangan
pihak yang hadir dalam rapat dengan Komisi III, lahan yang dieksekusi diduga
berada di luar lokasi yang seharusnya.
"Ada tiga pelanggaran di sini," tegas Soedeson.
Pertama, tidak adanya proses Anmaning sebelum eksekusi, kedua
kesalahan dalam menentukan lokasi eksekusi, ketiga tanah yang dieksekusi masih
memiliki sertifikat yang belum pernah dibatalkan secara hukum.
“Soal sertifikat itu,
kalau belum pernah dibatalkan, berarti tanah itu masih sah milik mereka
berdasarkan asas hukum. Tetapi tetap dieksekusi,” lanjutnya.
Komisi III DPR berencana memanggil berbagai pihak untuk
meminta klarifikasi terkait eksekusi ini, termasuk Kapolres dan Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
“Soal Komisi Yudisial (KY), kami memang tidak bisa memanggil
mereka. Tetapi Kapolres dan pengadilan akan kami panggil,” ungkapnya.
Soedeson juga mengkritik keterlibatan berbagai pihak dalam
eksekusi ini, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), kepolisian, dan Satpol
PP. Menurutnya, meskipun kehadiran mereka sesuai prosedur sebagai bagian dari
pengamanan, mereka seharusnya memastikan bahwa objek eksekusi sudah benar.
“Kalau mereka hadir semua, ya mereka juga ikut salah. Jangan
sampai mereka membackup sesuatu yang keliru,” pungkasnya.
Kasus eksekusi rumah warga di Desa Setia Mekar, Kecamatan
Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, telah menjadi sorotan publik. Pada 30 Januari
2025, Pengadilan Negeri (PN) Cikarang melaksanakan eksekusi pengosongan lahan
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi tahun 1997, yang memenangkan
gugatan Mimi Jamilah atas lahan yang diklaim bermasalah sejak 1976.
Namun, eksekusi ini menuai kontroversi karena diduga
melanggar prosedur hukum dan salah sasaran. Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyatakan
bahwa lima rumah yang dieksekusi berada di luar objek lahan yang disengketakan.
Dia menegaskan bahwa eksekusi tersebut cacat prosedur, karena
pengadilan tidak melibatkan BPN Kabupaten Bekasi dalam pelaksanaan eksekusi dan
tidak ada perintah pembatalan sertifikat tanah sebelum eksekusi dilakukan. Pihak
PN Cikarang, melalui Hakim Juru Bicara Isnandar Nasution, menyatakan bahwa
eksekusi telah dilakukan sesuai prosedur hukum.
Mereka mengeklaim telah melaksanakan delegasi sita eksekusi
berdasarkan permohonan dari PN Bekasi dan telah menjalankan seluruh tahapan,
termasuk proses constatering atau pencocokan objek eksekusi. Namun, BPN
Kabupaten Bekasi tidak hadir dalam proses tersebut meskipun telah diundang.
Kasus ini semakin kompleks karena lahan seluas 3,6 hektare
tersebut telah beberapa kali berganti kepemilikan sejak 1976. Transaksi jual
beli antara pemilik lahan sebelumnya, Djuju Saribanon Dolly, dan Abdul Hamid
bermasalah, yang kemudian memicu serangkaian gugatan hukum hingga eksekusi yang
kontroversial ini.
Akibat eksekusi ini, lima rumah warga telah rata dengan
tanah, meskipun pemiliknya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah.
Menteri Nusron Wahid berjanji akan menjembatani penyelesaian kasus ini dengan
PN Cikarang dan pihak yang bersengketa guna mencari solusi atas rumah yang
terlanjur dieksekusi. (jpnn)