Oleh : Sutoyo Abadi |
Koordinator Kajian Politik Merah Putih
ULAH Etnis China (Tionghoa ) yang tergabung dalam 9 naga
sebagai oligarki pengusaha hitam makin berani, setelah sukses melakukan ternak
para pejabat negara dari pusat sampai daerah.
Terang terangan dengan kejam, sadis dan keji merampas
tanah rakyat pribumi, mengacak-acak
kondisi sosial, politik, ekonomi dan hukum di Indonesia dengan menyuap pejabat dan aparat keamanan sebagai budak
piaraannya.
Kedaulatan negara terancam, potensi konflik dengan etnis
China terasa makin dekat dan membesar
akibat kebencian kaum pribumi yang merasa dihina, direndah, diremehkan dengan
perilaku tidak tahu diri sebagai warga pendatang merasa sebagai pemilik dan
pengendali negara.
Kepentingan tanah air, bangsa, negara dan rakyat Indonesia
terancam. Anehnya pemerintah beserta alat keamanan yang semestinya melindungi
rakyatnya tidak hanya diam justru terus mempertontonkan dengan arogan berpihak
kepada etnis China, hanya karena telah menjadi budaknya.
Keadaan makin mencekam kalau Presiden Prabowo Subianto, hanya
beretorika seolah olah sebagai patriot pembela rakyat dan negara sesuai tujuan
negara dalam Pembukaan UUD 45, tetapi yang namak terkesan ragu-ragu, ambivalen, mengambil
sikap cepat dan tegas melindungi rakyatnya yang diusir dari tempat tinggalnya setelah tanah leluhurnya dirampas dengan paksa oleh
Oligarki hitam etnis China.
Rakyat (kaum pribumi) merasa muak dengan pemerintah mengulang
ulang pidato patriotik yang hanya retorika belaka.
Multi krisis sedang terjadi baik sosial, ekonomi, hukum dan politik akan
berujung terulang kembali kerusuhan anti China/Tionghoa di Indonesia, yang
sudah berkali kali sebagai pengkhianat, rezim tetap membutakan diri tidak mau
menengok sejarah :
"Kerusuhan Anti China di Tangerang Tahun 1913, di
Sumatera, Jawa dan Pontianak tahun 1942, di Bandung dan Garut Tahun 1963, di Aceh, Medan, Kalimantan Barat,
Makassar, Situbondo, Pasuruan Tahun 1965
– 1967, di Situbondo Tahun 1968, di Jakarta & Solo Tahun 1971 – 1974, di
Surakarta Tahun 1980, di Makassar Tahun 1982, di Sumatera Tahun 1988, di
Makassar Tahun 1997 dan terjadi hampir seluruh Kota Besar Tahun 1998, akankah
terjadi kembali di Tahun 2025"
Suara rakyat di seluruh Nusantara terus bersuara lantang:
"tangkap dan adili Jokowi dengan semua pengkhianat negara, stop / batalkan
Program Strategis Nasional (PSN), pulangkan atau usir semua etnis China yang
berlindung sebagai tenaga kerja, tangkap dan adili oligarki penghianat negara,
"tetap di abaikan".
Presiden agar segera ambil sikap tegas dan tindakan cepat,
rakyat sudah bertekad bukan, tidak hanya akan bersikap dan berdiri di belakang,
tetapi akan berdiri dan bergerak di depan Presiden.
Presiden Prabowo nampak tetap gamang dan ragu - ragu. Kalau
itu terus terjadi rakyat yang sudah pada batas kesabarannya dan puncak
penderitaannya pasti akan bertindak dan melawan dengan caranya sendiri.
Presiden Prabowo hanya ada dua pilihan tetap ambigu, ragu
ragu hanya menebar pidato kosong atau diam tetapi bertindak cepat untuk
menyelamatkan rakyat dan negara.
Presiden Prabowo Subianto harus sadar dan ingat bahwa periode pemerintahan Kabinet Merah Putih akan menjadi penentu negara tetap eksis atau akan bubar dan hancur lebur. (*)