Pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang, sudah bersertifikat
Hak Guna Bangunan (HGB)
JAKARTA — Pegiat media sosial, Tommy Shelby
mengaku heran dengan pernyataan Bareskrim Polri yang menyebutkan Aguan dan
Agung Sedayu tidak terlibat dalam kasus pagar laut di Tangerang.
Tommy menyinggung kemungkinan adanya campur tangan dari pihak
tertentu dalam proses hukum kasus tersebut. Merujuk pada Muannas Alaidid yang
tetap memberikan keterangan pasang badan.
"Waduh pengacara M cair nih. Rubicon atau Range Rover SV
nih?," ujar Tommy di X @TOM5helby (19/2/2025).
Tommy juga mempertanyakan logika di balik pernyataan
Bareskrim, mengingat PT Agung Sedayu Group (ASG) melalui dua anak perusahaannya
telah mengakui kepemilikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas lahan yang
dipagar.
"Gimana gak cair? PT ASG lewat dua anak perusahaannya
udah mengakui mereka punya SHGB di laut yang dipagerin tapi tetep dibilang gak
terlibat oleh Bareskrim," cetusnya.
Ia pun mengajak masyarakat untuk berpikir kritis terhadap
kasus ini.
"Ada yang bisa melogikakan?," tandasnya.
Sebelumnya diketahui, Bareskrim Polri mengatakan bahwa
pengusaha Sugianto Kusuma, yang lebih dikenal sebagai Aguan, tidak terlibat
dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen terkait sertifikat hak guna bangunan
(SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) atas pagar laut di Kabupaten Tangerang.
Dalam penyelidikan kasus ini, pihak kepolisian telah
menetapkan empat tersangka, termasuk Kepala Desa Kohod, yang diduga berperan dalam
pemalsuan dokumen pengurusan hak atas tanah di kawasan tersebut.
Meski nama perusahaan Agung Sedayu, yang dimiliki oleh Aguan,
sempat dikaitkan dengan kasus ini, polisi menegaskan bahwa tidak ada bukti yang
mengarah pada keterlibatan pengusaha tersebut.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen
Djuhandhani Rahardjo Puro bahkan mempertanyakan keterkaitannya ketika dimintai
tanggapan oleh wartawan terkait dugaan keterlibatan Aguan.
Ia juga menyatakan bahwa selama proses penyelidikan berlangsung,
tidak ada saksi yang menyebutkan nama Aguan sebagai pihak yang terlibat.
Lebih lanjut, Djuhandhani menegaskan bahwa spekulasi yang
berkembang di media sosial tidak bisa dijadikan dasar dalam proses hukum.
"Kalau hanya berdasarkan perbincangan di media sosial,
itu tidak bisa menjadi patokan dalam proses hukum," tegasnya. (fajar)