Kolase foto Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri
JAKARTA — Presiden ke-7 RI Joko Widodo
(Jokowi) dinilai menjadi penyebab menjauhnya Presiden Prabowo Subianto dari
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Kemarahan Megawati memuncak saat Sekjen PDIP Hasto
Kristiyanto ditahan KPK beberapa waktu lalu. Di hari yang sama, Megawati
langsung mengeluarkan instruksi kepada kepala daerah dari PDIP untuk menunda
keberangkatan.
Terkait hal itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana
(Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte menilai instruksi Megawati tersebut
bukan sekadar reaksi politik spontan, melainkan manuver strategis dalam
mendefinisikan kembali peran PDIP di era transisi kekuasaan.
“Dengan mengarahkan serangan ke Jokowi, bukan Prabowo, PDIP
menunjukkan upaya sistematis untuk mendekonstruksi warisan politik Jokowi,
sekaligus menjaga kelenturan politiknya di bawah pemerintahan yang baru,” kata
Efatha kepada RMOL, Senin, 24 Februari 2025.
Menurut dia, ada tiga indikator utama yang menunjukkan pola
delegitimasi ini. Pertama, permintaan Hasto Kristiyanto agar Jokowi diperiksa
sebelum dirinya ditahan bukan sekadar bentuk perlawanan hukum, melainkan
strategi reframing politik yang bertujuan mengalihkan isu dari kasus personal
ke problem struktural dalam penegakan hukum.
“Kedua, tuduhan bahwa KPK dikendalikan oleh aktor eksternal
melalui AKBP Rossa membangun narasi bahwa PDIP adalah korban represi kekuasaan,
bukan sekadar partai yang terseret kasus hukum. Ketiga, dengan menekankan bahwa
kasus Hasto sudah berjalan sejak sebelum Prabowo berkuasa, PDIP menghindari
benturan langsung dengan pemerintahan baru, memungkinkan mereka untuk tetap
relevan dalam dinamika politik mendatang,” bebernya.
Lanjut Efatha, strategi ini pada dasarnya adalah eksperimen
reposisi menjauh dari Jokowi untuk membentuk ulang narasi oposisi, tetapi tetap
menyisakan ruang diplomasi dengan Prabowo.
“Jika berhasil, PDIP akan mengukuhkan dirinya sebagai
kekuatan oposisi utama yang kredibel. Tetapi, jika gagal mendapatkan dukungan
publik, langkah ini bisa menjadi bumerang, mengisolasi PDIP di luar lingkar
kekuasaan tanpa daya tawar yang signifikan lagi,” ungkapnya.
“Pada dasarnya, ini bukan sekadar konflik personal atau
hukum. Ini adalah kalkulasi politik jangka panjang PDIP untuk tetap menjadi
pemain dominan di era pasca-Jokowi,” tandas Efatha. (*)