
Oleh : Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI
HAMPIR bersamaan, Jokowi melempar bom atom politik ke Prabowo
dan Megawati. Ledakan pertama yang dahsyat, Prabowo terancam lengser dari kursi
presiden yang baru seumur jagung. Ledakan kedua yang juga tak kalah brutal,
Sekjend PDIP menjadi tahanan KPK.
Perayaan ulang tahun partai Gerinda benar-benar menjadi
trigger dari sebuah konspirasi jahat yang langsung menohok Prabowo dan
Megawati. Berbalas pidato yang menjadi “psy war” antara presiden terpilih dan
mantan presiden itu, mengawali momentum pecah kongsi dan bulan madu keduanya.
Dimulai dengan pidato bersayap dan tendensius Jokowi, “Tak
ada presiden yang paling kuat di dunia selain Pak Prabowo”. Berlanjut Jokowi
mengatakan “Buktinya sampai hari ini tak ada yang berani mengkritik Pak
Prabowo”.
7- Spontanitas Prabowo mengkounternya dengan narasi
“Kemenangan pilpres 2024 karena didukung Bapak Jokowi”. Selanjutnya, keluar
pernyataan teriak Prabowo “Hidup Jokowi, Hidup Jokowi, Hidup Jokowi” yang
kontroversial dan tentu saja berdampak kemana-mana.
Kemudian tidak berselang lama, publik disuguhkan keriuhan penahanan Sekjend PDIP-Hasto Kristiyanto oleh KPK. Kedua kejadian itu layak dinobatkan sebagai peristiwa “politic of the year”yang beririsan dan berkelindan dengan sosok Jokowi, Prabowo dan Megawati.
Paripurna friksi dan
kecenderungan konflik tiga pemimpin paling berpengaruh di republik ini. Jokowi
mulai mendongkel Prabowo sembari memanfaatkan
Megawati yang hubungannya sudah
lama berjalan tak harmonis.
Jokowi terendus melakukan “kiling me softly” kepada Prabowo. Jokowi dengan pidatonya tersebut seperti sedang menjadikan Prabowo sebagai umpan yang matang.
Provokasi Jokowi itu kemudian dibalas Prabowo yang menjadikan Prabowo masuk perangkap Jokowi. Hasilnya, demonstrasi besar-besaran dan masif dari mahasiwa dan masyarakat sipil menerjang Prabowo. Kecaman publik, pembunuhan karakter dan Prabowo terancam lengser dari kursi presiden (kudeta).
Sisi lain, Jokowi juga menunjukan kelihaian dan kelicikannya, dengan menjadikan kader strategis PDIP itu menjadi pesakitan KPK. Tujuannya tak lain membangun permusuhan dan kebencian PDIP terhadap kepemimpinan Prabowo sebagai presiden dan kepala pemerintahan yang bertanggungjawab terhadap proses hukum Sekjend PDIP. Bagi Jokowi ini keberhasilan seperti sedang melakukan “sekali tepuk dua nyamuk jatuh”. \
Jokowi
tampaknya berusaha keras membuat “fait accompli” terhadap Prabowo dan Megawati.
Dengan harapan saling serang dan menjatuhkan antara Prabowo dan Megawati. Ini
ditenggarai sebagai skenario busuk
Jokowi dalam memuluskan jalan Gibran
Rakabuming Raka menjadi presiden pengganti Prabowo.
Akankah rakyat termasuk di dalamnya Mahasiswa, Prabowo dan Megawati menginsyafi peristiwa yang demikian?. Mampukah semua entitas politik dan gerakan massa aksi menyadari sepenuhnya konstelasi dan konfigurasi politik tensi tinggi ini?.
Mungkinkah Jokowi tetap berjaya memuaskan ambisi dan nafsu
berkuasanya?. Atau sebaliknya, politik adu Domba Jokowi terhadap Prabowo dan
Megawati menimbulkan serangan paling mematikan
kepada Jokowi.
Mari kita tanya pada Garuda yang patah sayapnya dan Banteng yang terluka. (*)