Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar
JAKARTA — Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang membatalkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20
persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional diapresiasi pakar hukum tata
negara, Zainal Arifin Mochtar.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menegaskan bahwa semua partai
politik peserta pemilu mempunyai hak yang sama dalam mengajukan pasangan calon
presiden dan wakil presiden, tanpa ada persyaratan persentase tertentu.
Sosok yang akrab disapa Uceng itu menilai langkah MK tersebut
sebagai bentuk perbaikan, setelah dinilai telah menyimpang dari asas demokrasi.
"MK memang sedang menata diri, memperbaiki kesalahan
setelah membiarkan dirinya diobrak-abrik oleh rezim sebelumnya (Joko Widodo),
oleh hakim-hakim yang saya sebut hakim-politisi," kata Uceng, seperti
dikutip redaksi melalui akun X pribadinya, Kamis 2 Januari 2025.
Dengan pembatalan presidential threshold, MK dinilai mulai
mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut. Zainal berharap MK
terus memperkuat independensinya dan menjadikan prinsip demokrasi sebagai
landasan utama setiap putusan.
"Putusan menghapuskan presidential threshold adalah
kabar sejuk yang datang terlambat," ujar Zainal.
Sebelumnya MK dinilai telah membuat putusan kontroversial.
Salah satunya adalah Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang mengubah norma Pasal
169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu.
Norma tersebut awalnya mengatur syarat usia calon presiden
dan wakil presiden minimal 40 tahun. Namun, dalam putusan itu, MK menambahkan
ketentuan bahwa usia minimal tidak berlaku bagi calon kepala daerah yang
menjabat sebelumnya.
Putusan ini dianggap kontroversial karena dinilai memberikan
jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk
mencalonkan diri pada Pilpres 2024. Saat itu, Ketua MK dijabat oleh Anwar Usman
yang notabene adalah ipar Presiden Jokowi, sehingga memunculkan tudingan
konflik kepentingan. (rmol)