Oleh : Ida N. Kusdianti - Sekjen Forum Tanah Air (FTA)
MUNCULNYA sertifikat kepemilikan laut ataupun pantai secara
tiba-tiba membuat mata publik terbelalak atas pengelolaan negara selama ini.
Kasus semacam ini sebenarnya sudah pernah terjadi di Madura
pada tahun 2023 yang menjadikan polemik di masyarakat karena rakyat menganggap
pantai adalah wilayah publik yang tidak bisa dijadikan wilayah private.
Dimana pantai adalah area publik dan merupakan tanah milik
negara, sehingga dilarang untuk dijadikan sebagai area privat atau
diprivatisasi. Pemda seharusnya
memberikan sosialisasi agar
pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif memberikan akses bagi publik.
Kalau seluruh pesisir pantai sudah menjadi seperti kawasan
PIK semua, itu artinya Negara sudah tidak mempedulikan rakyat sedikitpun
Pejabat Negara sudah melacurkan diri dihadapan oligarki demi kenyamanan sesaat
para jajarannya, Sama artinya penyelenggara negara telah mengamputasi
kesejahteraan rakyat secara dini.
Pada saat itu Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep,
Madura, Jawa Timur, melakukan
investigasi dan penelitian terhadap proses penerbitan sertifikat hak milik
(SHM) dikawasan Pantai Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura.
Kita tidak boleh berhenti untuk membuat mata penguasa
terbuka, Presiden Prabowo sudah tegas tapi para menteri dan pejabat di bawahnya
terlihat lebih patuh pada oligarki dan Jokowi, mestinya Negara dalam hal ini
Menteri terkait sigap dan tidak blunder seperti yang terlihat saat ini saling
melempar tanggung jawab dalam mengatasi pemagaran laut dan PSN PIK 2.
Jutaan lahan sudah mereka kuasai, seluruh sendi sendi ekonomi
sudah mereka monopoli negara dibuat tidak mampu mengendalikan pasar, akibatnya
rakyat menjadi objek ekploitasi APBN yang disebabkan lemahnya negara dalam
mengelola sumber daya alam di Republik ini.
Kita flashback pada masa orde baru yang dimata pembencinya
seolah warisan orde baru adalah rezim yang otoritarian. Namun sejahat jahatnya
orde baru masih memberikan lahan bagi rakyatnya dengan program transmigrasi
yang biaya hidupnya ditanggung Negara selama belum mendapatkan panen tapi saat
ini yang ada lahan dibagikan kepada para konglomerat secara ugal ugalan oleh
pejabat pengkhianat yang tidak merasakan bagaimana negara ini berdiri atas
pengorbanan darah para pejuang.
Pemimpin negara seperti Jokowi telah terlena oleh gaya
hedonisme sehingga hal hal yang bersifat fundamental ditukar dengan receh yang
berakibat mengorbankan masa depan rakyatnya.
Presiden Prabowo harus mewujudkan janji janjinya yang akan
mengembalikan hak hak rakyat tidak berhenti pada tataran narasi.
Oligarki tidak boleh menang terhadap negara apalagi
mengangkangi negara , semua tinggal good will dari Presiden Prabowo yang bisa
membekukan aset aset oligarki dengan secarik kertas kapan saja presiden mau.
Yang saat ini sedang terjadi adalah proses perampasan lahan
rakyat, proses perpindahan kedaulatan rakyat dan bangsa. PSN dijadikan
kendaraan oleh Oligarki untuk mengambilalih kekuasaan negeri ini, dan mereka
punya modal cukup besar untuk menutup mulut rakyat yang minim pengetahuan,
minim iman dan tidak berpikir jauh ke depan untuk nasib anak cucunya.
Pemagaran laut adalah bagian terkecil dari ambisi mereka
untuk menguasai seluruh perairan Indonesia disamping penguasaan daratan dan
pembongkaran pagar laut di perairan Banten utara belum masuk ke dalam proses
pembatalan PSN PIK 2.
Inti masalah adalah PSN di antaranya PSN PIK 2, dan Presiden
Prabowo belum pernah mengatakan secara gamblang batalkan PSN PIK 2, padahal
masalah ini sudah jadi isue centre di Indonesia.
Begitu pula dengan Menteri ATR yang beberapa waktu lalu
mengatakan akan mengkaji ulang pembangunan PSN PIK 2 karena ada pelanggaran
tata ruang, tapi sampai saat ini hal itu menguap. Rupanya Menteri ATR menunggu
rakyat lupa dan berusaha mengalihkan perhatian.
Pesan untuk Menteri ATR & Presiden Prabowo
Kami akan tagih janji Bapak Menteri untuk mengkaji ulang PSN
PIK 2 dan mengingatkan Presiden RI untuk membawa masalah ini ke rapat kabinet
dan batalkan demi rakyat dan kedaualatan bangsa.
Keluarlah dari ketiak Jokowi dan cengkraman oligarki, rakyat
bersama pemimpin yang amanah. (*)