Oleh : Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political
Economy and Policy Studies)
SEPULUH tahun terakhir, kondisi keuangan negara semakin tidak
sehat. Utang pemerintah membengkak dari Rp2.600 triliun (2014) menjadi Rp8.700
triliun lebih pada akhir 2024.
Yang lebih memprihatinkan, bunga utang pemerintah Indonesia
sangat tinggi. Yield obligasi negara tenor 10 tahun mencapai 7,2 persen lebih.
Jauh lebih tinggi dari yield obligasi negara-negara tetangga seperti Malaysia
(3,83 persen), Thailand (2,45 persen), Vietnam (3,16 persen), dan bahkan
Philipina (6,27 persen).
Artinya, risiko utang pemerintah Indonesia jauh lebih tinggi
dari negara-negara tetangga tersebut. Baik risiko kurs maupun risiko gagal
bayar.
Surat utang negara yang jatuh tempo tahun ini sangat besar,
mencapai Rp800 triliun. Dari jumlah tersebut, surat utang negara yang dipegang
Bank Indonesia (BI) mencapai Rp100 triliun.
https://www.kompas.id/artikel/antisipasi-dampak-global-pemerintah-tukar-utang-jatuh-tempo-2025-senilai-rp-100-triliun
Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai panik. Bagaimana melunasi
utang ugal-ugalan duet Jokowi dan Sri Mulyani, yang mulai jatuh tempo.
Akhirnya, diambil jalan pintas. Debt switch. Yaitu, surat
utang lama (yang jatuh tempo) ditukar dengan surat utang baru. Di pasar
sekunder. Jalan pintas debt switch ini tidak hanya dengan BI, tetapi juga
dengan investor lainnya.
https://amp.kontan.co.id/news/selain-bi-pemerintah-akan-lakukan-debt-switch-secara-berkala-dengan-pelaku-pasar
Wacana debt switch menunjukkan Menteri Keuangan benar-benar
sedang panik. Sampai berani melanggar undang-undang.
Karena, tidak seperti korporasi, pemerintah tidak boleh
melakukan debt switch. Hal itu diatur di dalam undang-undang No 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang Negara (UU 24/2002).
Pertama, Pasal 1 ayat (2) UU 24/2002 berbunyi, penerbitan dan
penjualan surat utang negara untuk pertama kali, alias surat utang negara baru,
hanya dapat dilakukan di pasar perdana: “Pasar Perdana adalah kegiatan
penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali.”
Setelah terbit di pasar perdana, surat utang negara baru
kemudian bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Pasal 1 ayat (3) UU 24/2002:
“Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah
dijual di Pasar Perdana.”
Artinya, pemerintah tidak bisa langsung transaksi surat utang
negara di pasar sekunder, termasuk melalui mekanisme debt switch, tanpa
penawaran atau penjualan terlebih dahulu di pasar perdana.
Kedua, Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UU 24/2002 secara tegas
mengatur, surat utang negara yang jatuh tempo wajib dibayar pada saat jatuh
tempo, dan dana untuk membayar pokok utang tersebut wajib disediakan di dalam
APBN.
Pasal 8 ayat (2): “Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok
setiap Surat Utang Negara pada saat jatuh tempo.”
Pasal 8 ayat (3): “dana untuk membayar bunga dan pokok utang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.”
Artinya, surat utang negara yang jatuh tempo tidak boleh
dibayar dengan cara menukar dengan surat utang baru, alias debt switch.
Pelanggaran terhadap ketentuan penerbitan (dan penjualan)
surat utang negara seperti diatur di dalam UU 24/2002 diancam hukuman pidana
penjara antara 10 sampai 20 tahun, seperti diatur di Pasal 19 ayat (2): “Setiap
orang yang dengan sengaja menerbitkan Surat Utang Negara tidak berdasarkan
Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit dua puluh
miliar rupiah dan paling banyak empat puluh miliar rupiah.”
Ketiga, debt switch harus dimaknai sebagai dua transaksi.
Pertama, transaksi penerbitan dan penjualan surat utang negara baru di pasar
perdana. Kedua, dana hasil penjualan surat utang negara tersebut digunakan
untuk membayar surat utang negara (baik yang sudah jatuh tempo maupun yang
belum).
Artinya, debt switch antara Kemenkeu dengan BI secara substansi
merupakan transaksi pembelian surat utang negara oleh BI di pasar perdana.
Karena, Kemenkeu hanya dapat menerbitkan surat utang negara untuk pertama kali
di pasar perdana.
Oleh karena itu, transaksi seperti ini melanggar Pasal 55
ayat (4) UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan Bank
Indonesia hanya boleh membeli surat utang negara di pasar sekunder, tidak boleh
di pasar perdana: “Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri
surat-surat utang negara …. kecuali di pasar sekunder.”
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 55 ayat (4) tersebut
diancam pidana penjara antara 1 sampai 3 tahun, serta denda antara enam miliar
rupiah hingga lima belas miliar rupiah, seperti diatur di Pasal 70 UU BI.
Utang ugal-ugalan rezim Jokowi, bersama Menteri Keuangan Sri
Mulyani, sudah membuat masalah serius di tahun pertama Pemerintahan Prabowo.
Untuk itu, Prabowo harus waspada sepenuhnya. Jangan sampai terjebak manuver
penyelesaian utang Sri Mulyani, yang secara terang-benderang melanggar undang-undang,
dengan ancaman pidana penjara 20 tahun. (*)