Oleh : M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
KAPOLRI pilihan Jokowi ini melesat jenjangnya melangkahi banyak
perwira tinggi. Masa bodoh kata Jokowi yang penting Kapolri itu harus orangnya.
Ia berguna untuk banyak hal termasuk memilih-milih target demi kepentingan
Presiden yang tak punya rasa malu dan salah itu. Sebelumnya Listyo menjabat
sebagai Kabareskrim Mabes Polri.
Mantan Kapolresta Surakarta dan ajudan Presiden Jokowi ini
masuk dalam jajaran "gang Solo" yang menggambarkan hubungan dekat
dengan Jokowi. Kini saat Presiden berpindah tangan kepada Prabowo Subianto,
maka Listyo dianggap sebagai Kapolri titipan Jokowi. Prabowo masih menjadi
pengekor. Akibatnya penegakan hukum tetap terseok-seok, hanya omon-omon, dan
tidak mandiri.
Saat peristiwa pembunuhan 6 pengawal HRS yang dikenal dengan
kasus KM 50 Listyo Sigit menjabat sebagai Kabareskrim. Adapun Kapolri nya
adalah Idham Aziz. Sementara Kapolda Metro Jaya Fadil Imran berperan aktif
dalam memojokkan dan memfitnah 6 korban penganiayaan dan pembunuhan tersebut.
KM 50 tidak bisa lepas dari peran Fadil Imran yang diduga kuat juga melibatkan
Kabareskrim Listyo Sigit.
Awalnya ada tanda Listyo Sigit akan berakhir dengan
baik. Saat di depan anggota DPR RI ia berjanji untuk membuka kembali
kasus KM 50 jika ditemukan bukti baru (novum), akan tetapi janji itu ternyata
diingkari padahal telah ditemukan bukti baru (novum) di antaranya
"kesaksian sopir derek di KM 51,2", "pengakuan AKBP Acay soal
perusakan CCTV KM 50", dan
"kesaksian di sidang Pengadilan Bahar Smith atas luka penganiayaan
6 syuhada".
Hutang kasus Jokowi menjadi beban Prabowo akibat ingkar janji
Listyo Sigit tersebut. Cepat atau lambat Prabowo yang akan menjadi sasaran.
Dosa Sigit terus menempel seperti parasit. Prabowo harus mengobati penyakit.
Listyo Sigit tanpa prosedur penyelidikan dan penyidikan telah
memerintahkan tangkap mantan Polisi Aiptu Ismail Bolong karena sebagai
penambang ilegal ia telah mengaku menyetor uang hingga 6 milyar kepada
Kabareskrim Agus Andrianto, lalu menerangkan adanya tekanan dari Karo Paminal
Div Propam Hendra Kurniawan. Semestinya informasi setoran kepada petinggi Polri
atau suap tersebut yang ditindaklanjuti bukan menangkapnya.
Kasus Tragedi Kanjuruhan menewaskan 135 penonton akibat
kelalaian aparat Kepolisian menembakkan gas air mata ke arah tribun. Kasus ini
tidak terselesaikan dengan konsisten dan berkeadilan. Listyo Sigit tentu bertanggungjawab
atas tragedi dan penanganan aparat serta proses penyelidikan dan penyidikannya.
Penyidik KPK Brotoseno terbukti korupsi, namun setelah
selesai penahanannya justru diterima kembali sebagai Polisi aktif. Semangat
pemberantasan korupsi Kepolisian di bawah kepemimpinan Listyo Sigit tidak
nampak. Semestinya Brotoseno dipecat dari keanggotaan Kepolisian. Menurut
survey LSI Kepolisian Indonesia menempati peringkat teratas korupsi se-Asia
Tenggara.
Pasca pengarahan Presiden tentang pembenahan Kepolisian, maka
saat Konperensi Pers terlihat tangan Kapolri Listyo Sigit gemetar. Ada beban
atau dosa apa dari pelaksanaan tugas kepemimpinannya ? Kasus laporan/pengaduan
ijazah palsu mengendap, demikian juga dengan aduan nepotisme Jokowi yang
melanggar Pasal 22 UU No 28 tahun 1999 tentang KKN. Dokumen atau berkas kasus
ditumpuk hanya sebagai arsip.
Perpanjangan masa kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit hingga
periode Presiden Prabowo dirasakan kurang pas dan terkesan dipaksakan. Publik
membaca hal ini sebagai mengikuti kemauan Jokowi. Prabowo dalam kendali.
Baik dari reputasi buruk Jenderal Listyo Sigit maupun
kelaziman untuk kemandirian serta konsistensi penegakan hukum, maka Prabowo
dituntut untuk segera mengganti Kapolri Listyo Sigit. Penyegaran dan perbaikan
kinerja di tubuh kepolisian adalah prioritas dan harapan rakyat kepada Presiden
Prabowo.
Listyo adalah Kapolri Jokowi, Kapolri Prabowo harus lain lagi. Wajar jika diganti. Itu baru namanya sehat, kuat, dan bermartabat. (*)