Oleh : M Rizal Fadillah | Koordinator Kajian Politik Merah Putih
KOMNASHAM baru pimpinan Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc didesak
melalui aksi-aksi Front Persaudaraan Islam (FPI) untuk melakukan penyelidikan
ulang peristiwa pembantaian 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib
Rizieq Shihab (HRS) yang dikenal dengan kasus KM 50. Komnas HAM lama yang
diketuai Ahmad Taufan Damanik dinilai tidak maksimal dalam melaksanakan tugas,
fungsi, dan kewenangannya.
Penyelidikan dahulu jelas keliru dasar hukum yang digunakan
yaitu UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM semestinya mendasari pada UU No 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa telah terjadi
pembunuhan sistematis yang dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat.
Penyelidikan berdasarkan UU No 26 tahun 2000 dapat melibatkan unsur masyarakat.
Akibat pemeriksaan pelanggaran HAM biasa maka terdakwa
"ecek-ecek" dua orang anggota Kepolisian yaitu Briptu Fikri Ramadhan
dan Iptu Yusmin Ohorella divonis bersalah tapi dibebaskan. Peradilan sesat
"dagelan" itu tentu tidak memenuhi rasa keadilan. Bahkan lucunya,
sejak awal para terdakwa itu berkeliaran bebas, tidak ditahan.
Diduga dibebaskannya kedua terdakwa terkait dengan operasi
Satgassus pimpinan Ferdy Sambo yang saat itu merangkap sebagai Kadiv Propam
Mabes Polri. Ada keterlibatan "orang-orang Sambo" dalam operasi
pembantaian sistematis KM 50 tersebut. Hal ini penting untuk digali oleh Komnas
HAM periode 2022-2027 pimpinan Dr. Atnike Nova.
Desakan kepada Komnas HAM untuk bekerja adalah satu di antara
3 opsi kelanjutan proses membongkar kembali kasus KM 50. Dua lainnya adalah
mendesak Kepolisian untuk memeriksa ulang berdasarkan novum yang sudah
ditemukan atau mendesak Kepolisian untuk menuntaskan Rekomendasi Komnas HAM
terdahulu yang hingga kini masih menggantung.
Sebagai extra ordinary crime atau sering disebut unlawful
killing, maka kejahatan kemanusiaan ini akan menjadi hutang yang terus ditagih,
khususnya oleh umat Islam. Dikejar dan diperiksa berbagai figur yang diduga
terlibat seperti Fadil Imran, Dudung Abdurahman, Budi Gunawan, Listyo Sigit,
bahkan Tito Karnavian dan Jokowi. Mantan Menkopolhukam Mahfud MD pun harus
berbicara jujur.
Melalui Komnas HAM baru yang bekerja berdasarkan UU No 26
tahun 2000 maka diharapkan kabut kasus KM 50 dapat tersingkap, keadilan harus
ditegakkan. HRS sudah bertekad untuk mengejar para pelaku dan pihak terlibat
agar segera diseret ke meja hijau. Dagelan peradilan kemarin harus dikoreksi
dan diluruskan kembali. Kebetulan Jokowi sang Ketua Umum rezim sudah tiada.
Pertanyaan seriusnya adalah apakah Jokowi mengetahui dan
membiarkan pembantaian 6 anggota Laskar FPI itu atau Jokowi yang memang
telah memerintahkan operasi pengejaran
HRS dan keluarganya yang berujung pada penyiksaan dan pembunuhan tersebut?
Kasus KM 50 adalah kasus serius di masa pemerintahan Jokowi yang dicoba
diselesaikan dengan pementasan drama yang sangat menistakan nilai-nilai
kemanusiaan.
Jika Jokowi, Fadil Imran, Budi Gunawan, Dudung Abdurahman dan
lainnya benar terlibat dalam kejahatan ini maka wajar seluruhnya untuk dapat
dihukum Mati.
Prabowo Subianto yang kini menjadi Presiden dan dahulu
Menteri Pertahanan tidak boleh diam saja. Harus berbuat dan bertindak tegas
demi tegaknya kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Jangan sampai muncul pertanyaan yang lebih serius yaitu
apakah Prabowo Subianto juga terlibat? Sikap dan kebijakan Prabowo dalam
penuntasan kasus KM 50 ini akan menjadi indikator.
Pernah ada acara menarik yang dipandu oleh Dr. Refly Harun
bertema : "Pak Prabowo, Ada KM 50".
Nah, remember and get it done--ingat dan selesaikan! (*)