Pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang, sudah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) 

 

TANGERANG — AL, warga pesisir Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, akhir-akhir ini kurang tidur. Sebelumnya, warga desa itu hidup dengan melaut setiap hari untuk menangkap ikan. Sementara itu, keluarga menunggu di rumah.

 

Namun beberapa bulan terakhir hatinya dihinggapi rasa cemas saat harus meninggalkan rumah. Pasalnya akhir-akhir ini banyak pengembang yang ingin menguasai lahan warga di sana. AL dan warga lainnya selalu diliputi rasa cemas.

 

AL tidak mau menyebutkan secara jelas perusahaan pengembang mana yang dimaksud. Namun, ia ingat betul bagaimana perlakuan terhadap 'tamu tak diundang' itu telah menginjak-injak harga diri mereka sebagai warga miskin.

 

"Cara-cara mafia tanah," kata AL geram saat ditemui Selasa (21/1).

 

Dia tampak kesal. Bagaimana tidak, tanah warga yang semula dikelola sebagai empang dan budidaya ragam ikan kini nyaris hilang.

 

“Tadinya tanah timbul, masyarakat manfaatkan bikin empang, budidaya bandeng, mujair, udang," ujar lirih.

 

Janji Tinggal Janji

Sebagai orang kecil, AL sadar warga kampungnya tak mempunyai kekuatan apa-apa untuk bertahan.

 

Selama ini, kata AL, pengembang dengan culasnya membeli tanah mereka dengan menetapkan harga sepihak. Tidak ada kesepekatan warga dan pengembang.

 

"Coba pikir, sehari ditawar langsung diurug. Belum tentu deal sama pemilik tanah, tapi kalau sudah diurug, mau enggak mau. Dan semua orang juga pada tahu cara-cara itu yang mereka gunakan," ujar AL.

 

Menurutnya, desa yang pertama kali rata dengan tanah adalah Kampung Muara. Disusul Kampung Garapan, Desa Garapan. Dia pun tak tahu keperluan pengembang menguasai lahan empang, kali dan tanah darat masyarakat di sana. Meski belakangan, mereka mendapat informasi kawasan itu akan direklamasi oleh pengembang yang pernah mereklamasi pantai di Jakarta.

 

Dijanjikan Ganti Rugi

Saat digusur, AL menyebut warga sempat dijanjikan akan mendapatkan ganti rugi berupa lahan dan bangunan seluas lahan dan bangunan terdampak. Tetapi hingga kini, janji itu seolah menguap begitu saja.

 

"Sampai sekarang sudah 5 tahun ini semua masyarakat di Kampung Grapan itu enggak punya sertifikat, padahal digusur PIK itu dijanjikan disediakan lahan, dibangun rumah dan diberikan serifikat, nyatanya sampai sekarang mereka tinggal di Kampung Gaga Baru belum dikasih sertifikat, kalau enggak salah mungkin sekitar 300 rumah, satu kampung,” ujar dia.

 

Menurut AL, kala itu pengembang menawarkan sistem penggantian kerugian atas tanah dan bangunan dengan model ruislagh karena dirasa adil. Meski dampaknya, mata pencarian masyarakat penggarap kini berubah.

 

“Mekanisme dia punya tanah berapa, dibangunin seluas itu juga. Duit ganti ruginya juga dapat. Tapi sampai sekarang sertifikatnya belum," katanya.

 

Terlebih saat ini, sistem penggantian lahan masyarakat tidak lagi dilakukan seperti sebelumnya. Ini yang membuat masyarakat khawatir dan takut jika lahan-lahan mereka dikuasai pengembang secara semena-mena.

 

“Yang jelas sebenarnya kita menolak penggusuran dan sebagainya. Katanya nanti masyarakat nelayan dipindah ke Cituis Kecamatan Pakuhaji, karena ada pelabuhan besar dibangun di sana," katanya.

 

Kini Al makin was-was dengan keberadaan pagar laut di pantau utara Tangerang. Sebab jika area terpagar diurug maka mereka harus angkat kaki.

 

"Kami pasti kena gusur otomatis kami engga bisa bekerja," tegasnya. (merdeka)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.