Oleh : Syafril Sjofyan | Pemerhati
Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APPTNI
ORGANIZED Crime and Corruption
Reporting Project (OCCRP) mengumumkan Presiden RI ketujuh Joko Widodo masuk
dalam nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024.
OCCRP merupakan salah satu organisasi
jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Kantor pusatnya di Amsterdam dan
memiliki staf di enam benua. Organisasi ini bertujuan untuk mengungkap
kejahatan dan korupsi yang sering kali luput dari perhatian media arus utama.
Organisasi ini juga dikenal karena
dedikasinya dalam membantu media investigasi lokal di seluruh dunia untuk
berkembang. OCCRP melaporkan isu-isu kompleks seperti perang, perubahan iklim,
kesenjangan, dan ancaman terhadap demokrasi, yang semuanya sering dipicu oleh
kejahatan dan korupsi.
Dengan kemitraan bersama berbagai
outlet media, OCCRP mempublikasikan laporan sesuai tindakan nyata di lapangan.
Termasuk mengumumkan Pemerintah Jokowi yang korup ini melanggar HAM,
memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam dan memperdagangan kebijakan
yang melekat pada diri Jokowi.
Tanggapan Jokowi terhadap OCCRP
Organisasi Internasional ini dengan muncul cengegesan nampil di media
mainstream lokal, dengan memasang wajah bodoh berujar; “saya korupsi apa? hahaha, buktikan apa?”
“fitnah dan framing jahat” hehehe. Reaksi Jokowi ketawa yang seharusnya
bermoral , dia merasa malu dan kecewa
karena sudah dinyatakan sebagai tokoh kejahatan korupsi 2024.
Jokowi pura-pura tidak tahu hukum dan
kriteria korupsi atau memang tolol (istilah Rocky Gerung). Untuk membuktikan ya
harus melalui Pengadilan. Untuk itu Polri, Kejaksaan, KPK ditantang harus
segera melakukan melakukan penyelidikan, penyidikan, untuk pembuktikan,
agar Jokowi tidak lagi berkata dia
difitnah atau diframing. Dengan kata lain untuk pembuktian. Tangkap dan adili
Jokowi!.
Namun begitu mari kita bedah tentang
Kriteria Korupsinya Jokowi. Biar Jokowi dan keluarganya bersiap untuk
dipenjara. Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang
dilakukan oleh pejabat publik atau individu yang memiliki posisi penting untuk
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, dengan mengorbankan kepentingan
publik.
Kesatu, Penyalahgunaan Wewenang,
ketika Jokowi memiliki kekuasaan, menggunakan wewenangnya untuk memutuskan
Proyek Strategis Nasional (PSN) bagi Swasta seperti Rempang, PIK2, IKN
kepentingan pribadi Aguan, Tomi Winata, Anthoni Salim dkk. atau kelompok perusahaan
swasta tertentu yang bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Dipastikan mereka yang diuntungkan
akan memberikan upeti seumur hidup bagi Jokowi dan keluarganya. Jangankan
Jokowi, Ara (Maruar Sirait) yang dekat dengan kekuasaan Jokowi saja mendadak
sangat kaya melalui Aguan (penjelasan om nya Panda Nababan).
Kedua, Dugaan Pemerasan dan
Gratifikasi, menerima atau meminta sesuatu yang berhubungan dengan pemberian
imbalan dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas lainnya dengan harapan
mendapatkan keuntungan tertentu yang tidak sah. Kasus anak bungsunya Kaesang
dan menantunya Jokowi yakni Bobby
Nasution yang menggunakan privat jet, yang bisa berujung kepada kekuasaan
Jokowi. Tidak diusut tuntas oleh KPK bisa jadi pimpinan KPK dipilih dan berada
dibawah Presiden Jokowi.
Ketiga, Dugaan mengambil atau
menyalahgunakan aset Negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik,
akhirnya memperkaya diri sendiri dan
keluarga. Contoh kasus pertambangan blok Medan tambang yang diberikan kepada
puterinya Jokowi, Kahiyang dan suaminya Bobby Nasution.
Keempat, Nepotisme, mengutamakan
keluarga, anaknya Gibran Rakabuming Raka, melalui pengambilan keputusan MK
memuluskan Gibran yang belum cukup umur menjadi capres. Seharusnya berdasarkan
merit atau kompetensi berusia 40 tahun.
Dengan tujuan memperoleh keuntungan
atau keuntungan pribadi, Ketua MK Anwar Usman
“adik iparnya” Jokowi melakukan
pelanggaran etika berat. Kasus hukum dugaan tindak pidana Nepotisme tersebut
diduga dilakukan oleh Anwar Usman, Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan
Iriana melanggar/ vide pasal 1 angka 5 jo, Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999 dengan
hukuman maksimal 12 tahun.
Tindak Pidana Nepotisme sudah
dilaporkan ke Bareskrim oleh Forum Alumni Perguruan Tinggi berijazah Asli
(ForAsli) dan Petisi 100, setahun yang
lalu pada tanggal 5 Januari 2024 sampai sekarang belum diusut. Diduga karena
Kapolrinya merupakan pilihan dan diangkat oleh Jokowi.
Kelima, Pengaruh terhadap Keputusan
Kebijakan, menggunakan posisi atau pengaruh untuk mempengaruhi keputusan
kebijakan yang seharusnya menguntungkan publik, tetapi lebih mengutamakan
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Kasus dugaan Money Laundring oleh
Gibran dan Kaesang yang mendapatkan
ratusan milyar modal dari Penguasa bermasalah hukum yang dihukum dan didenda sangat besar karena
membakar hutan. Konon hukuman dendanya diringankan dan pengusaha tersebut
diangkat menjadi dubes oleh Jokowi. Kasus ini dilaporkan ke KPK tiga tahun yang
lalu oleh akademisi Ubaidillah Badrun, sampai sekarang belum diusut karena KPK
telah dilemahkan melalui revisi UU KPK oleh rejim Jokowi.
Keenam, Penyalahgunaan Anggaran
Negara, tentang KCIC yang semula adalah B to B menjadi tanggungan APBN adanya
dana tambahan pengelembungan biaya pembangunan kereta api cepat tersebut secara
sepihak oleh Jokowi. Termasuk penggunaan anggaran Pendidikan di pindahkan
menjadi anggaran bantuan desa.
Penggunaan anggaran negara yang tidak
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan merupakan tindak pidana pelanggaran
UU APBN. Jika diusut banyak lagi penyalahgunaan tersebut, namun dengan adanya
koalisi gendut parpol di DPR semasa Jokowi, pelanggaran tersebut didiamkan saja.
Tidak ada kata lain bahwa Jokowi
adalah tokoh kejahatan terorganisasir korupsi. Dan tidak ada kata lain Jokowi
sekeluarga harus diusut, ditangkap dan diadili. Apakah bisa?. Tergantung
Presiden Prabowo. Tinggal memanggil KPK dan Kapolri. Untuk mengusut secara
tuntas. Jika KPK dan Kapolri tidak mau.
Ganti Kapolrinya. Begitu juga Komisioner KPK yang baru. Harus diganti semua.
Jokowi telah melakukan pelanggaran UU
KPK dengan melakukan pembentukan Pansel dan mengajukan Calon pengganti Komisioner KPK ke DPR RI secara terburu-buru
pada masa jabatannya. Bisa jadi melindungi kepentingannya. UU KPK mensyaratkan
seharusnya pemilihan Komisioner KPK yang baru dilakukan pada masa jabatan
Presiden yang berbeda. Yakni Presiden Prabowo. Dengan demikian Komisoner KPK
terpilih tersebut tidak sah. (*)