Ubedilah Badrun / Ist
JAKARTA — Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
mengambil sikap antikritik dengan mencopot Ubedilah Badrun dari jabatannya
sebagai koordinator program studi. Ubedilah selama ini dikenal sebagai
pengkritik keras Jokowi dan keluarganya, termasuk di lingkungan kampus.
Demikian dikatakan aktivis politik Rahman Simatupang dalam
keterangannya kepada redaksi www.suaranasional.com, Jumat (31/1/2025).
“UNJ ada ketakutan dengan kiprah yang dilakukan Ubedilah
Badrun selama ini,” tegasnya.
Rahman mengatakan, UNJ harusnya mendukung langkah yang
dilakukan Ubedilah Badrun karena bagian dari tugas seorang akademisi
menyuarakan kebenaran dan keadilan. “Jangan sampai kampus itu menghalangi para
dosennya untuk bersuara kritik,” ungkap Rahman.
Ubedilah yang merupakan akademisi Sosiologi Politik
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dicopot dari jabatan Koordinator Program Studi
(Kepala Departemen) Pendidikan Sosiologi UNJ oleh Rektor UNJ. Pencopotan
dilakukan sebelum waktunya karena jabatan itu seharusnya diemban Ubeidilah
hingga 2027.
“Iya, saya sudah tidak lagi menjabat sejak 24 Januari 2025.
Posisinya telah digantikan oleh Plt (pelaksana tugas). Masa jabatan saya
menurut SK Rekor No.1995/UN39/HK.02/2023 adalah untuk periode 2023-2027. Tetapi
diberhentikan pada 25 Januari 2025 . Tidak apa-apa Mas, itu otoritas Rektor,
mungkin punya maksud baik, saya tidak tahu apa alasanya,” kata Ubedilah kepada
Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Kamis (30/1/2025).
Informasi yang dapat diperoleh dari media sosial UNJ,
terlihat bahwa pemberhentian atau pengangkatan tersebut terjadi seiring
perubahan UNJ menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) yang
memberikan otoritas penuh Rektor dalam menentukan dan mengangkat siapapun
pejabat di lingkungan UNJ dengan syarat yang telah ditentukan sebelumnya.
Situasi tersebut berbeda dengan ketika Universitas masih
berstatus Satuan Kerja (Satker) atau saat masih berstatus Badan Layanan Umum
(BLU), pengangkatan Kepala Departemen atau Koordinator Program Studi dimulai
dari aspirasi musyawarah dosen di tingkat program studi, diajukan ke Dekan lalu
diputuskan Rektor.
Sejak PTNBH, tidak ada lagi musyawarah program studi untuk
menentukan siapa koorprodinya.
“Memang benar sejak menjadi PTNBH, otoritas Rektor begitu
power full. Melalui Peraturan Rektor No.1/2025 Rektor UNJ memiliki otoritas
penuh, Dekan bisa mengajukan tetapi Rektorlah yang memutuskan. Menurut Pasal 6
Peraturan Rektor tersebut disebutkan bahwa pengangkatan kepala departemen atau
koordinator program studi bersifat penugasan oleh Rektor. Proses semacam ini
sesungguhnya rawan nepotisme, rawan like and dislike dan sekaligus rawan
pembungkaman,” pungkas Ubedilah. (*)