Oleh : Joharuddin Firdaus/Pemerhati Politik Sosial dan Budaya
Ikan itu kalau membusuk, biasanya dimulai dari kepala. Begitu
kata filusuf Marcus Tullius Cicero 106 – 43 tahun silam Sebelum Masehi. Untuk
itu, kepala ikan yang sudah terlanjur busuk harusnya dipotong atau dilepaskan
dari badan ikan. Tujuannya, agar daging ikan yang tidak ikut-ikutan membusuk
bersama kepala ikan, sehingga bagian ikan yang lain masih bisa dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber protein terbaik untuk tubuh manusia.
SUATU hari di awal Fabruari tahun 1991 silam, Presiden
Soeharto memanggil Mayor Jendral Polisi Kunarto ke kediaman pribadi di Jalan
Cendana Jakarta. Dua hari kemudian Pak Kurnarto menumui Pak Harto di Jalan
Cendana. Saat menemui Pak Harto, Pak Kunarto membawa buku catatan, seperti
biasanya anak buah menghadap komandan. Pertemuan antara Pak Harto dan Pak
Kunarto terjadi di pada sore hari.
Sebenarnya pertemuan sore itu antara Pak Harto dengan Pak
Kunarto itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Pertemuan tersebut bukan yang
pertama kali. Sering terjadi pertemuan diantara dua tokoh bangsa ini. Apalagi
Pak Kunarto adalah ajudan Presiden dari
tahun 1979-1986. Hampir tujuh tahun Pak Kunarto menjabat sebagai ajudan
Presiden Soeharto. Namun pertemuan Februari 1991 menjadi istimewa, karena
beberapa hari lagi Pak Kunarto dilantik menjadi Kapolri yang ke-11.
Selama dalam perjalanan menuju Jalan Cendana, Pak Kunarto
mulai menduga-duga apa gerangan arahan yang bakal diberikan oleh Pak Harto
kepadanya. Setelah salaman, Pak Harto mempersilahkan Pak Kunarto untuk duduk di
kursi. Sementara Pak Harto mengambil cerutu untuk persiapan mengisap cerutu.
Suasana pertemuan sangat santai. Terkesan seperti orang tua dengan anaknya
sendiri atau dua sahabat.
Setelah duduk beberapa menit, Pak Harto bertanya kepada Pak
Kunarto, kapan dilantik sebagai Kapolri? Pak Kunarto jawab, siyap seminggu
lagi. Kata Pak Harto, ya sudah, tunggu saja kalau begitu. Semoga semua berjalan
dengan lancar sampai pelantikan nanti, lanjut Pak Harto. Dijawab Pak Kunarto,
siyap Pak. Selanjutnya mohon arahan, do’a, nasehat dan bimbingan dari Bapak
Presiden.
“Hehehehe, ya ndak ada arahan, nasehat dan bimbingan, kata
Pak Harto. Dilanjutkan Pak Harto, kalau mau lihat polisi itu baik dan bagus di
mata rakyat, ya terserah kepada dirimu saja. Dari dirimu itulah wajah dan
marwah polisi yang sebenanrnya. Kalau Kapolrinya baik, pasti polisi juga baik.
Sebaliknya, bila Kapolrinya buruk, maka wajah polisi juga di mata masyarakat.
Jika sudah buruk, maka sulit untuk diperbaiki lagi”.
Penggalan nasehat dari Pak Harto itu, dicatat oleh Pak
Kunarto kata per kata, kalimat per kalimat. Pak Kunarto masih setia menunggu
untuk mencatat nasehat, arahan dan bimbingan dari Pak Harto berikutnya.
Sayangnya, setelah tunggu hampir dua puluh menit, dengan posisi bolpoin tetap
di tangan untuk mencatat, Pak Harto tidak juga memberi nasehat, arahan dan
bimbingan untuk dicatat Pak Kunarto.
Akibatnya Pak Kunarto memberanikan diri untuk bertanya kepada
Pak Harto. “Mohon izin, selanjutnya Bapak Presiden? “tanya Pak Kunarto sambil
berharap ada nasihat lagi dari Pak Harto. “Ya ndak ada lagi. Suah, cuma itu
saja. Yang penting itu jaga dirimu baik-baik, agar tidak merusak dan
memperburuk polisi di mata masyarakat. Wajah dan marwah polisi itu sangat
tergantung kepada sikap dan prilaku Kapolri, “kata Pak Harto.
Entah sangaja atau tidak. Apakah Pak Harto sudah lebih dulu
membaca penggalan kalimat Cicero bahwa “ikan itu membusuk dari kepala”. Baik
Marcus Tullius Cicero maupun Pak Harto mempunyai kesamaan pandangan bahwa
baik-buruknya marwah dan wajah sebuah entitas pemerintahan itu, sangat
tergantung kepada tampilan dan prilaku pucuk pemimpin tertingg di instansi
tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana wajah polisi selama era reformasi?
Terutama setelah polisi lepas dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang dulu
itu bernama ABRI? Jawabannya, tergantung dari sudah pandang mana melihat wajah
polisi. Ibarat gajah, kalau dari depan kelihatan taring atau belalai. Dari
samping kelihatan perut gajah. Sedangkan kalau dari belakang kelihatan ekornya
gajah. Semua sudut bisa.
Diantara dua belas Kepolri selama reformasi, Jendral Polisi
Roesmanhadi, Jendral Polisi Roesdihardjo, Jendral Polisi Surojo Bimantoro,
Jendral Polisi Da’i Bachtiar, Jendral Polisi Sutanto, Jendral Polisi Bambang
Hendarso Danuri, Jendral Polisi Timur Pradopo, Jendral Polisi Sutarman sampai
Jendral Polisi Badrodin Haiti, wajah polisi masih bisa baik-baik saja. Mekipun
banyak juga kekurangan disana-sini. Namun masih dalam batas-batas kewajaran
sebagai institusi yang sedang menata diri.
Saat Jendral Polisi Tito Karnavian menjabat Kapolri,
institusi polisi mulai bermasalah. Tito banyak bicara tentang masalah-masalah
banga yang berkaitan dengan politik. Bukanya fokus pada persoalan-persoalan
yang bekaitan dengan penegakkan hukum. Puncaknya, Tito membuat buku dengan
judul “Politikal Polisi”. Wajah polisi yang mulai buram di eranya Tito
Karnavian Kapolri tersebut, disempurnakan oleh Kapolri Jendral Listyo Sigit
Prabowo.
Akibatnya polisi jatuh terjerambak ke titik paling nadir
paling dalam di mata masyarakat Indonesia. Polisi dihina, dicibir, dicemoh
memalui berbagai satire, metapore dan mem. Sangat sempurna Jendral Listyo Sigit
membuat wajah rendah dan hina di mata rakyat. Wajah polisi sekarang,
mirip-mirip TNI di akhir Orde Baru dan awal reformasi dulu.
Tito Karnavian merusak polisi dengan gagasan “Politikal
Polisi”. Akibatnya, perjuangan panjang civil society selama puluhan tahun untuk
melepaskan polisi dari TNI, hari ini hancur berantakan. Polisi seperti
diluluhlantakan di depan pemiliknya sendiri, rakyat Indonesia. Semua penilaian
buruk tentang polisi itu berawal dari libido, ambisi murahan, dan syahwat
kekuasaan yang tinggi dari Jendral Polisi Prof. Dr. Tito Karnavian.
Melalui konsep “Politikal Polisi” yang digagas Tito
Karnavian, berhasil menyeret polisi masuk dalam kubangan lumpur yang dalam.
Polisi seperti mengambil peran ABRI selama 32 tahun untuk menopong kekuasaan
Presiden Soehato. Bedanya polisi menjadi penyangga utama kekuasaan Joko Widodo.
Seperti ada dendam kekuasaan, karena tidak diikutkan bermain selama 32 tahun
kekuasaan Orde baru. Selama Orde Baru, polisi hanya sebagai pelengkap penderita
saja.
Wajah polisi yang buram dan jatuh di masyarakat itu
disempurnakan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Polisi benar-benar babak belur
jatuh di titik nadir. Eranya Kapolri Listyo Sigit inilah, polisi mengukuhkan
diri sebagai institusi tukang rekayasa perkara terbaik dan terhebat dibading
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Paling kurang ada dua jendral
bintang dua polisi yang terlibat rekayasa perkara di era Kapolri Listyo Sigit.
Ada kasus Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo yang menjadi aktor
utama pembunuhan terhadap anak buahnya Brigadir Yosua Huatabat. Selama tiga
hari Kapolri Sigit percaya semua cerita dan rekayasa Ferdy Sambo. Untung ada
dua adik dari mamanya Yosua, Roslin Simanjuntak dan Rohani Simanjuntak. Dua
wanita pemberani yang berani membongkar rekayasa Ferdy Sambo yang sudah
dipercaya Kapolri Listyo Sigit.
Selain itu, ada kasus Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy
Minahasa, yang merekayasa perdagangan narkoba jenis sabu. Padahal dari fakta
persiddangan, Teddy Minahasa sudah terlibat perdagangan narkoba jenis sabu
sejak masih menjabat Staf Ahli Kapolri. Tragisnya dipromusikan dua kali sebagai
Kapolda oleh Kapolri Listyo Sigit. Pertama sebagai Kapolda Sumatera Barat, dan
kedua sebagai Kapolda Jawa Timur.
Masih di Polda Sumatera Barat. Belum lama ini ada polisi yang
menembak polisi sampai meninggal. Sementara di Polda Nusa Tenggara Timur (NTT)
Kepolsek Aipda Rudy Soik dipecat dari polisi. Padahal Aipda Rudy Soik terkenal
di NTT sebagai sosok polisi yang berdiri paling depan melawan mafia perdagangan
solar ilegel.
Rekayasa perkara paling heboh yang dilakukan polisi adalah
penembakan siswa SMK Negeri 4 Semarang. Polrestabes Semarang pamerkan barang
bukti gadungan yang konon dipakai untuk tawuran antar geng motor. Padahal semua
itu hanya kebohongan dan rekayasa polisi. Tentu kebiasaan rekayasa masih banyak
lagi, namun belum diributin saja. Hari ini polisi juga punya nama baru sebagai
Partai Coklat atau Parcok.
Untuk pergantian Kapolri Listyo Sigit, sebaiknya Presiden
Prabowo ambil dari jajaran Jendral Polisi bitang dua. Terutama mereka-mereka
yang selama ini dizalimi Listyo Sigit. Mereka yang berprestasi, baik di
penugasan maupun akademik seperti Irjen Polisi Rudi Darmoko, peraih Adhi
Makayasa tahun 1993. Begitu juga dengan Irjen Polisi Alberd Teddy Benhard
Sianipar sebagai peraih Adhi Makayasa tahun 1994, dan Irjen Polisi Sandi
Nugroho sebagai peraih Adhi Makayasa tahun 1995, .
Mereka lulusan terbaik peraih Adhi Makayasa 1993, 1994 dan
1995 sampai sekarang belum juga diberikan jabatan Kapolda oleh Kapolri Listyo
Sigit. Huebat benar Kapolri Listyo Sigit ini, entah apa pertimbangannya.
Padahal lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1996 sudah ada yang menjadi
Kapolda, yaitu Irjen Polisi Jhonny Edison Isir, yang menjabat sebagai Kapolda
Papua Barat.
Irjen Polisi Jhonny Edison Isir melewati tiga kaka tingkat tingkat di atasnya. Sudah satu tahun lebih Irjen Polisi Jhonny Edison Isir menjabat sebagai Kapolda Papua Barat, sejak tanggal 7 Desember 2023 sampai sekarang. Tampaknya merit system benar-benar lumpuh di eranya Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Sementara praktek like and dislike begitu dominan dan subur. (bersambung).