Ketua MK Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi lainmya saat memimpin jalannya sidang
JAKARTA — Dua hakim konstitusi menyampaikan
pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan perkara Nomor
62/PUU-XXI/2023 yang menghapus ambang batas pemilihan presiden. Kedua hakim
konstitusi tersebut adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.
Keduanya menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Oleh karena itu, permohonan tersebut tidak dapat diterima. Permohonan ini
diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,
yakni para pemohon, yakni Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal
Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
"Pada pokoknya kedua hakim tersebut berpendapat bahwa
para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing," kata
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Suhartoyo menganggap perbedaan pendapat itu dianggap
dibacakan. Ia menyebut, pokok dissenting opinion itu para pemohon dinilai tak
memiliki kedudukan hukum.
"Sehingga seharusnya Mahkamah tidak melanjutkan
pemeriksaan pada pokok permohonan," ucap Suhartoyo.
Meski demikian, MK memutuskan menghapus persyaratan ambang
batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya," ujar Suhartoyo saat membaca amar putusan uji materi Pasal 222
tersebut.
MK menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya," urai Suhartoyo.
Sementara hakim MK Saldi Isra mengatakan, merujuk pada
pertimbangan hukum MK, ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan
dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak
memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut sesuai dengan dalil dari para
pemohon.
"Dengan demikian dalil para Pemohon adalah beralasan
menurut hukum untuk seluruhnya," pungkas Saldi Isra. ()