Kawasan PSN PIK 2/Net
JAKARTA — Direktur Ekskutif Oversight of The
Indonesian Democratic Policy, Satyo Purwanto mengungkapkan banyak hal yang
perlu dibenahi sebelum Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2 Tropical Coastland
dilanjutkan.
“Sengkarut penetapan kawasan pesisir Utara Kabupaten
Tangerang menjadi PSN PIK 2 mesti ditinjau ke belakang beberapa tahun
sebelumnya,” kata Satyo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta,
Kamis 19 Desember 2024.
Sebab, Satyo mengungkap sebelum proyek itu dimulai sudah ada
prakondisi dan persiapan sejak tahun 2013.
“Pemerintah Kabupaten Tangerang pernah berupaya menggusur
paksa masyarakat Dadap dan sekitarnya di Kecamatan Kosambi. Bahkan dalam tahun
itu ada upaya 2 kali penggusuran dengan melibatkan ribuan aparat Polisi,TNI dan
Satpol PP,” beber SP.
Untuk memuluskan proyek, kata SP, tahun 2020 Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR) direvisi sehingga menjadi Perda No 9/2020 Tentang Rencana
Tata Ruang Kabupaten Tangerang 2011-2031. Legalitas untuk menggusur tanah
rakyat itu lahir saat Zaki Iskandar menjadi Bupati Tangerang.
“Revisi tersebut patut diduga adalah prakondisi proses
penyerobotan. Maka mestinya DPR bisa memanggil Bupati saat itu, termasuk kepala
BPN Kabupaten Tangerang 2016, dan Ketua DPRD Kabupaten Tangerang di periode
tersebut,” papar Satyo Purwanto.
Di periode tahun 2013 hingga 2020, Satyo mengungkap banyak
proses alih fungsi lahan. Sampai, belasan ribu hektar lahan hutan lindung di
beberapa desa dan kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Tangerang seperti
Kecamatan Kosambi, Teluknaga dan Pakuhaji beralih fungsi dan status
kepemilikan.
Di balik status PSN, kata Satyo developer alias pengembang
seolah memiliki buldozer untuk melindas siapa saja yang menghalangi jalannya
proyek meskipun itu menggusur rakyat.
“Yang sekarang masuk kawasan PSN. Bisa dicek riwayat lahan
tersebut. Sebenarnya tidak ada modus yang baru, selain melibatkan pihak
aparatur negara dalam proses alih fungsi lahan dan penetapan aturan-aturan agar
terkesan sesuai prosedur,” demikian Satyo.
Satyo yang pernah mengadvokasi masyarakat di Teluknaga dan
Kosambi, Kabupaten Tangerang ini mengungkapkan, saat masyarakat mempertahankan
tanah mereka selalu mendapat kriminalisasi.
“Tidak jarang mereka berhadapan dengan aparat penegak hukum
baik Polisi ataupun Kejaksaan. Dengan kata lain rakyat
"dikriminalisasi" ujarnya.
Namun demikian, Satyo optimis persoalan konflik agraria ini
bisa diselesaikan. Jika pemerintah memiliki keinginan kuat untuk, harus
menginisiasi penegakkan hukum di sektor agraria dengan status independen yang
memiliki perangkat peradilan mandiri dengan tenaga penyelidik bebas intervensi.
“Peradilan ini harus memiliki sistem sendiri seperti layaknya
KPK dalam bidang pemberantasan korupsi,” demikian Satyo Purwanto. (rmol)