Oleh : M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PERKELAHIAN Jokowi dan Megawati semakin seru. Dua fenomena
yang memperuncing dan menambah serius perseteruan yaitu pertama pemecatan Jokowi, Gibran, dan Bobby, kedua
penetapan Tersangka Hasto. Peperangan akan terus bereskalasi dari mulai perang
urat syaraf, perang politik dan hukum,
hingga puncaknya perang total. Keduanya akan nekad untuk saling menghanguskan.
Pertarungan sesungguhnya dimulai dengan adu pengaruh melalui
penggunaan senjata masing-masing. Megawati memegang Kejaksaan Agung sedangkan
Jokowi memiliki KPK. Megawati melakukan serangan atas kubu Jokowi dengan kasus
korupsi PT Asuransi Jiwasraya, Jokowi
menyerang balik Megawati melalui kausus suap Harun Masiku.
Jokowi mencanangkan untuk memperpanjang masa jabatan menjadi
tiga periode. Tentu melalui amandemen UUD 1945. Wacana penundaan Pemilu juga
berkembang. Segala upaya untuk itu diganjal Megawati melalui kampanye penolakan
perpanjangan "saya kan taat aturan", kata Megawati.
Konflik inner circle
besar berlanjut pada Megawati yang menggadang-gadang Puan Maharani sebagai
Cawapres sedangkan Jokowi "mbalelo" dengan mengelus Ganjar Pranowo.
Saat Megawati kemudian merebut Ganjar dan mengusungnya, Jokowi memilih Prabowo
sebagai jagoannya.
Perang berkulminasi pada pemecatan Jokowi dari keanggotaan
PDIP. Gibran dan Bobby ikut dalam pemecatan tersebut. Jokowi melangkah lagi
dengan memainkan KPK untuk menetapkan status Tersangka atas Hasto Kristiyanto.
Kasus Harun Masiku mencuat kembali. KPK, bahkan juga Kejaksaan Agung, adalah
sisa kekuatan strategis Jokowi.
KPK sekarang itu sesungguhnya berada di rezim Prabowo tapi
nampaknya Prabowo tak peduli. Ia asyik dengan mainan lain yang tidak berisiko
pada dirinya. Ataukah Prabowo itu berada dalam ancaman KPK karena kasus pesawat
dan food estate ? Mengapa KPK sekarang masih mengabdi pada kepentingan
Jokowi ?
Perlawanan Megawati dan PDIP dalam kasus Hasto sebenarnya
dapat menusuk langsung pada KPK khususnya tentang keabsahan KPK itu sendiri.
Pimpinan KPK juga Dewas ternyata diajukan oleh Jokowi padahal Undang-Undang
menyatakan diajukan oleh Presiden. Semestinya Prabowo yang mengajukan, ia tidak
bisa hanya sekedar menyetujui yang diajukan Jokowi. Setelah pengajuan dari Prabowo baru fit and
proper test dan lainnya. Ini persoalan prosedur bagi keabsahan hukum.
Teringat dahulu ketika Menteri Kehakiman dan HAM era SBY
Yusril Ihza Mahendra ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kejagung. Perlawanan
Yusril melalui PTUN dan MK mengenai jabatan Jaksa Agung yang lewat, akhirnya
menghasilkan selesainya kasus Sisminbakum tersebut. Status Tersangka yang
menggantung selama 1 tahun itu akhirnya dicabut.
Banyak jalan potensial bagi perkelahian panjang Jokowi lawan
Megawati. Ini tentu tidak sehat bagi pembangunan politik bangsa. Saatnya
Prabowo berbuat nyata bukan dengan sikap tidak peduli atau "ngajedog
wae". Hukum yang menjadi kepentingan politik pragmatis harus segera
dihentikan. (*)