Ilustrasi (Foto: Getty Images/iStockphoto/seechung)
Oleh : Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih
Info dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyidangkan gugatan Rizieq Shihab Cs terhadap mantan Presiden Joko Widodo pada siang ini, Selasa, 19 November 2024., majelis hakim membuka sidang dengan merekomendasikan sebuah mediasi, sesuai (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2016.
Ikhtiar membawa dugaan kasus Jokowi ke pengadilan tentu
disambut gembira sebagian besar rakyat Indonesia, apapun hasilnya.
Dalam sidangnya yang singkat PN Jakarta Pusat menunjuk
seorang hakim menjadi mediator antara kubu Rizieq Shihab dengan Jokowi.
Selanjutnya Suparman mempersilakan penasihat hukum Rizieq dan kawan-kawan serta
pihak Jokowi untuk menandatangi persetujuan agenda mediasi.
Dalam waktu 30 hari PN Jakarta Pusat menunggu laporan dari
mediator, mudah - mudahan bisa berdamailah,” kata Suparman seraya mengetok palu
menutup persidangan. Sidang itu berlangsung singkat, dengan durasi kurang dari
10 menit.
Selanjutnya tersiar luas bahwa dari Pihak Penggugat Rizieq
Shihab Bersama penggugat lainnya, melalui gugatan itu, di samping meminta
Jokowi minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas didugaan melakukaan
rangkaian kebohongan selama periode 2012-2024, yaitu sejak menjadi Gubernur DKI
Jakarta dan dua periode sebagai presiden.
Juga menuntut agar Jokowi
membayar ganti rugi materiil sebesar nilai utang luar negeri Indonesia
sejak 2014-2024 yakni Rp 5.246 triliun, hingga tidak memberikan rumah maupun
uang pensiun kepada Jokowi.
Apabila gugatan ganti rugi apabila di kabulkan, dalam
rincian terbaca dengan jelas :
- 40% dari Rp 5.246 triliun ganti rugi akan disumbangkan
untuk makan siang gratis Prabowo, dengan nilai
Rp2.098 triliun
- 30% sejumlah Rp1.574 triliun akan diberikan kepada 73 juta
rakyat miskin dan menengah bawah (masing² warga akan memperoleh Rp21,5 ).
- Sedangkan 30% sisanya diserahkan ke kas negara.
Menyimak tulisan "Eggi Sudjana dan Damai Hari
Lubis" dalam artikelnya
"Pragmatisme Golongan
Rezim Baru Wacanakan Faktor
Pemaaf - Berdasarkan Voting Adalah Kejahatan yang Berkelanjutan"_,
tersirat dan tersurat antara lain :
- Upaya rekonsiliasi Jokowi minta maaf dan ganti rugi apapun
alasannya akan melupakan korban yang sudah merasakan teraniaya dan
tercabik-cabik jiwa dan raganya
- Imbalan ganti rugi dengan sejumlah materi dari hasil kejahatan akan melegalkan kejahatan terus berjalan dan tidak akan bisa memberi efek jera, sebagai salah satu manfaat dari fungsi hukum.
- Sekadar ganti rugi, hukum akan rongsokan tak berharga dan behavior/ penguasa sudah menzalimi para pemilik hak.
- Hukum akan selalu dapat dibeli, dan transaksi (jual -
beli). Maaf pun niscaya juga dari hasil kejahatan, setidaknya obscur (tidak
jelas) alias tak berkepastian.
- Memberikan maaf kepada penguasa yang diduga sudah menjadi
penghianat negara adalah sama saja melawan keadilan.
- Akan melahirkan
kecemburuan terhadap unsur maaf dari banyak orang yang tidak harus
ditampilkan bahkan kesulitan untuk menampung membuat daftar siapa dan apa
bentuk korban dari kejahatan rezim Jokowi
- Meminta maaf dan ganti rugi kepada Jokowi yang dampak
kejahatannya masih berlangsung seperti Program PNS, penjarahan tanah ( PIK )
dan ambil paksa kedaulatan negara, itu "Nalar Nungging' yang salah.
Sampai di sini agar disadari bahwa sebagian rakyat sudah pada
kesimpulan bahwa kesalahan Jokowi diseret ke pengadilan agar sampai pada status
_"Jokowi Sebagai Pengkhianat Negara"_ . Kalau itu sudah terpenuhi
maka hukuman yang setimpal untuk Jokowi adalah "Hukuman Mati". (*)