Ilustrasi pinjaman online atau pinjol (sonora.id/net)
JAKARTA — Pada Mei 2023, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) melaporkan total utang pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) yang bersumber dari pinjaman online mencapai Rp19 triliun pada Mei 2023.
Kemudian, pada Maret 2024, Bank Indonesia melaporkan kredit pinjaman daring per
Maret 2024 telah mencapai Rp64 triliun.
Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam menilai pemerintah belum
tegas dalam menangani kasus pinjaman online (pinjol). Akibat ketidaktegasan
itu, katanya, masyarakat Indonesia makin terjerat dalam kasus mengerikan ini.
Baginya, hal ini menunjukkan betapa cepatnya pertumbuhan dan
kemudahan masyarakat terjebak dalam rentenir. Ia pun meminta pemerintah segera
menuntaskan regulasi tentang rentenir ini, yang menurutnya dapat dengan mudah
diatasi jika ada ketegasan dan keberpihakan kepada rakyat.
"Korban Pinjol terus bermunculan karena dianggap sebagai
solusi saat membutuhkan uang cepat tanpa ribet. Padahal, justru menyusahkan di
kemudian hari dengan bunga yang tinggi dan penagihan yang tidak jelas,"
Mufti dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (21/12/2024).
Kendati Pemerintah telah melakukan penutupan terhadap situs pinjol ilegal, dirinya menyebut pengawasan yang tidak ketat tetap membuat pinjol-pinjol kerap bermunculan.
“Tanpa pengawasan yang memadai dan sanksi yang tegas,
akibatnya korban terus bermunculan. Pemerintah tak berdaya karena pinjol makin
merajalela, rakyat menderita,” tuturnya.
Oleh karena itu, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu menilai
pemerintah seharusnya secepatnya mengambil langkah yang lebih tegas terkait
pinjol karena semakin banyak masyarakat yang menjadi korban. Pinjol, tegasnya,
berdampak secara signifikan pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat, bahkan
pada kasus kriminal.
“Berapa kali kita dengar ada kasus kekerasan bahkan hingga pembunuhan karena utang pinjol. Pemerintah seharusnya bisa melihat masalah pinjol ini merusak sendi-sendi kehidupan karena utang pinjol kerap membutakan nurani manusia,” papar Mufti.
Belum lagi, kasus-kasus yang membuat individu bahkan keluarga
putus asa karena terlilit utang pinjol. Baru-baru ini sekeluarga di Kediri,
Jawa Timur, berusaha melakukan percobaan bunuh diri karena terjerat utang
pinjol. Ayah, ibu, dan anak sulung selamat, namun anak yang masih balita meninggal
dunia.
Sekeluarga bunuh diri karena masalah utang pinjol juga
terjadi di Tangerang, Banten, dan bahkan dilakukan oleh beberapa guru. Mufti
menilai upaya peningkatan inklusi keuangan bagi masyarakat yang tidak bankable
malah justru menyebabkan rakyat terperosok pada utang yang tidak pernah
berhenti.
“Fenomena tersebut marak terjadi lantaran Pemerintah tidak
menyediakan akses pinjaman yang baik bagi masyarakat yang sedang kesulitan.
Akhirnya rakyat mengambil jalan keluar paling mudah ya ke pinjol,” sebutnya.
“Cukup nomor HP dan KTP maka kredit dengan bunga mencekik
bisa diperoleh dengan mudah. Giliran bayar, nggak ada yang bisa dipakai bayar,
lalu pinjam ke pinjol lain," imbuh Mufti.
Tak sedikit masyarakat terjerat pinjol melakukan gali lubang tutup lubang yang membuat hutangnya semakin menumpuk. Mufti menyebut, seharusnya fenomena seperti ini bisa diputus bila ada kebijakan yang mendukung perekonomian rakyat.
“Rakyat ini sejak pandemi Covid-19 hingga sekarang daya
belinya turun, tapi pungutan Pemerintah dalam bentuk pajak terus meningkat.
Akibatnya harga barang terus naik yang berdampak beban rakyat makin berat,”
sambung Mufti.
“Kami menyesalkan kenapa regulasi mengenai pinjol ini belum
juga siap karena masih banyak lubang di sana-sini. Tidak ada perbaikan sama
sekali padahal korban sudah banyak, tidak hanya kehilangan harta karena bunga
yang mencekik tapi kehilangan nyawa karena tidak sanggup membayar,” urainya.
“Sekarang ini kita semua menyaksikan banyak rakyat yang
frustasi dan sebagian memilih bunuh diri, karena diteror oleh debt collector
pinjol. Pemerintah ini seperti membiarkan pinjol tanpa pengawasan yang memadai,
yang artinya banyak ruang gelap dan abu-abu yang dimanfaatkan pinjol,” tandas
Mufti. (fajar)