Oleh: Sutoyo Abadi
| Koordinator Kajian Politik Merah Putih
Prof. Hafid Abbas dalam artikelnya "Bajingan politik dan
Idealisme Akademik", dari Daoed Joesoef, dalam artikelnya di kolom Opini
Kompas, “Politikus di Zaman Edan” yang terbit pada 2 Juli 2011.
Memuat semua cerita situasi pasca pasukan Italia menaklukkan
pasukan Etiopia. Angkatan perang Italia berhasil menduduki Etiopia pada 1935,
tokoh- tokoh negeri Afrika Timur itu— yang telah membantu kemenangan—diundang
Benito Mussolini naik ke pesawat terbang (joy flight).
Mereka menerima undangan itu karena menganggapnya sebagai
bukti penghargaan atas jasa mereka bagi kemenangan dan kejayaan Italia.
Setelah terbang di atas Laut Merah, Mussolini memerintahkan
supaya semua tokoh Etiopia itu dibuang keluar pesawat tanpa parasut. Atas
pertanyaan para jenderalnya, mengapa tuan Benito Mussolini berbuat demikian, sang diktator fasis
menjawab : "Kepada negerinya sendiri mereka berkhianat, apalagi kelak
kepada Italia. Sekali orang berjiwa pengkhianat, dia akan terus menjadi
pengkhianat seumur hidupnya".
Pengkhianat seperti itu disebut “Bajingan” seperti
pengkhianat Etiopia yang layak dibuang satu per satu ke laut seperti yang
dilakukan oleh Benito Mussolini pada 1935.
Penghianat memiliki watak dan profesi pencitraan, berbohong, menipu untuk membungkus / menutup
prilakunya sebagai penghianat.
Sebagai penguasa, politisi bahkan ilmuwan penghianat akan
selalu lolos sensor melenggang dalam pengkhianatan karena selalu melekat dengan kekuasaan gemar
mengumbar kejahatan tanpa rasa malu.
Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis, mengatakan bahwa ketika
seseorang menyerahkan kebebasan dan nilai-nilainya demi kekuasaan, ia
sebenarnya mengalami kejatuhan eksistensial. Ini momen di mana pejuang kebenaran justru menjadi bagian dari sistem yang mereka lawan
dan berubah menjadi penghianat.
Penghianat seperti ini
berprilaku barbar (barbarian). Tidak ada
standar moral dan etika dalam sistem orang barbar, siapa yang kuat
itulah hukum.
Selalu
menggunakan instrumen kekuasan
untuk melakukannya, termasuk agar aman dari kejahatannya. Mereka akan
menggunakan segala cara untuk menang. Tidak ada standar hukum, moralitas dan
etika yang bisa membatasi sifat barbarian itu.
Seorang penghianat selalu
larut dalam budaya konformitas (culture of conformity), bahkan siap
menjual dirinya sebagai budak dan boneka Taipan Oligarki dan asing, menindas,
menyiksa bahkan membunuh bangsanya sendiri.
Menarik contoh Benito Mussolini, penghianat akan tetap
sebagai penghianat dan harus di buang ke laut.
Penghianat yang merajalela saat ini yang dipertontonkan
dengan telanjang terjadi dari contoh pemimpin atau para penguasa sebagai penghianat - ikan busuk dari kepalanya (rotten fish from
its head). (*)