Oleh: Faisal S Sallatalohy | Kandidat Doktor Hukum Trisakti
KENAIKAN PPN dari 11% jadi 12%. Ada yg bilang, naiknya hanya
1%. Rendah sekali. Kenapa harus diributkan, dikiritisi ?
Toh kenaikan PPN yang serendah itu juga dilakukan pemerintah
untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Kenaikan PPN akan menambah kemampuan
APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, menciptakan perkembangan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Kalimat pembelaan yang naif, irasional, melanggar batas
moral, ilmu, keadilan, kenyataan dan
inkonstitusional!
Prosentasi kenaikan PPN memang hanya 1%. Tapi implikasi
kenaikan PPN terhadap kenaikan inflasi atau harga barang mencapai 9,09 %.
Tinggi sekali.
Kok bisa?
Rumus kenaikan PPN: (harga baru - harga lama) / harga lama) x
100.
Harga baru 12 - harga lama 11 = 1 / harga lama 11 = 0,090 x
100 = 9,09.
Simulasi Susenas menunjukkan, kenaikan inflasi 1% mendorong
peningkatan rata-rata garis kemiskinan 1,8%, maka menambah jumlah kemiskinan
baru 1,4 juta.
Maka kenaikan inflasi 9,09% x 1,4 juta = 12,7 juta kemiskinan
baru berpotensi bertambah.
Pemerintah sebut, kenaikan PPN 12% akan mendorong kesehatan
APBN dalam mendukung pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
Kalimat ini, tidak bisa dibenarkan. Konsumsi masyarakat
mengambil porsi terbesar 58% terhadap pertumbuham ekonomi.
Kenaikan pajak yang mendorong naiknya inflasi dan
meningkatnya kemiskinan justru menjadi gambaran jatuhnya daya beli masyarakat.
Jika daya belinya jatuh, maka kontribusinya terhadap
pertumbuhan ekonomi akan melemah yang selanjutnya mempengaruhi pelemahan
pertumbuhan ekonomi.
Belajar dari kasus kenaikan PPN dari 10% ke 11%. Ternyata
memukul daya beli rakyat yang ditandai dengan deflasi beruntun selama 5 bulan
sejak April 2024. Dengannya pertumbuhan ekonomi 2024, diprediksi lebih rendah
dari 5%. Di bawah target asumsi dasar makro APBN 2025 sebesar 5,02%.
Selain itu, contoh kasus kenaikan PPN dari 10 ke 11% juga
hanya mampu menaikkan rasio Value at Risk menjadi 57,1%. Artinya, 42,9% dari
potensi penerimaan PPN belum terkumpul.
Artinya kenaikan PPN bukannya menaikkan penerimaan pajak,
malah menjatuhkan. Menunjukkan bahwa kenaikan PPN yang mendorong kenaikan
inflasi memang menekan daya beli masyarakat, penerimaan PPN pun melemah.
Konsep pemerintahan kalap. Pengen cara praktis bayar defisit
APBN dengan cara meningkatkan perilaku premanisme "palak rakyat"
lewat kenaikan pajak yang "ga ngotak". Pertimbangannya tidak matang.
Secara teori, kenaikan pajak adalah pendekatan lain selain
cetak utang baru dalam rangka memperoleh dana segar untuk membayar defisit
APBN.
Peningkatan pajak dan cetak utang baru adalah pendekatan
utama yang biasanya digunakan oleh negara penganut sistem dan politik ekonomi
neoliberal seperti Indonesia.
Defisit APBN 2025 bukan main besarnya. capai Rp 616,2 triliun.
Kementrian keuangan menyebut, kenaikan PPN 12% sepanjang 2025 akan menambah
pemasukan negara Rp 78,76 triliun. Sangat jauh dari kebutuhan bayar defisit
APBN 2025.
Untuk apa pemerintah ngotot naikan PPN jadi 12% kalau hanya
mampu mendatangkan pemasukan yg sangat jauh dari kebutuhan defisit APBN dengan
cara mengorbankan kesejahteraan masyarakat, menaikan kemiskinan sampai yg
berpotensi capai 12,7 juta orang?
Kebijakan naif seperti apa ini?
Kenaikan PPN hanya mendatang tambahan pemasukan Rp 78,76
triliun. Digunakan untuk menambah kekurangan APBN. Lalu bagimana dengan nasib
masyarakat miskin baru 12,7 juta jiwa itu?
Ini tanggung jawab siapa? Bagimana cara pemerintah
bertanggung jawab memulihkan kemiskinan baru itu? Mau dipulihkan pakai uang
dari mana?
Aturan macam apa ini?
Catatan pentingnya, PPN dinaikan sebagai cara lain selain
mencetak utang baru yg dilakukan pemerintah untuk bayar defisit APBN.
Artinya, masyarakat disuruh berkorban dan menanggung beban
pembayaran defisit APBN.
Defisit APBN menunjukan APBN kekurangan uang Rp 616,2 triliun
sepanjang 2025. APBN 2025 bolong-mines sebesar itu.
Siapa yg bikin APBN bolong sebesar itu? Rakyat yg buat? Tentu
saja bukan. Lalu siapa pemerintah sendiri yg bikin APBN bolong.
Pemerintah yang mana pelakunya?
Pemerimtahan Jokowi selama 10 tahun dengan model politik
kebijakan anggaran yang melanggar UU 17 Tahun 2023 tentang manajemen akuntansi
negara.
Contohnya, pendanaan proyek infrastruktur dan IKN yang
gila-gilaan di luar batas kemampuan keuangan negara. Mengakibatkan belanja
meningkat, melampui jumlah pemasukan.
Ada yang bilang, kenapa disalahkan, itu kan untuk rakyat.
Rakyat yang mana?
Buka lebar "biji matamu" lalu lihat jatuhnya
kinerja industri manufaktur, jatuhnya jumlah kelas menengah hampir 10 juta,
pengangguran terbuka paling tinggi di ASEAN, UMP paling rendah no. 5 dunia,
orang cari kerja susah, giliran bangun usaha sendiri dan ada penghasiman
dipalakin negara lewat kenaikan pajak, jumlab kemiskinan dan paling parah
adalah kesenjangan distribusi pendapatan yang tercermin lewat tingginya gini
rasio (yang kaya makin kaya, yang miskin makin mampus).
Rakyat mana juga yang ingin habiskan APBN puluhan triliun
untuk bangun IKN dan gelar upacara kemerdekaan di IKN?
Belum lagi ditambah persoalan bocornya APBN akibat
diselewengkan perilaku korup pejabat negara.
Semua peroslan itu merusak APBN, menjebol APBN. Mengakibatkan
lemahnya sisa saldo lebih atau SAL untuk pemerintahan baru ini menyusun
anggaran belanja sehingga defisit APBN terus berlanjut dengan jumlah yg
meningkat. Itulah salah satu sebab yg bikin prabowo safari ke negara-negara
dunia mengemis-ngemis utang dan investasi.
Lalu sekarang rakyat disuruh berkorban untuk membayar
perilaku konyol pemerintah lewat kenaikan pajak?
Enak sekali, enak bener jadi pemerintah?
Enjoy the power, power and glory. Malas, tidak kreatif,
menjajah rakyat. (*)