Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sidarto Dhanusubroto/Ist
JAKARTA – Sikap Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi)
disesalkan oleh mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres),
Sidarto Dhanusubroto. Menurut Sidarto, pada Pilkada Serentak 2024, Jokowi
seharusnya bertindak sebagai negarawan, bukan juru kampanye pemilu.
“Soal Jokowi, kebetulan saya dua periode jadi Wantimpres,
saya dekat, mulai dia dari walikota, gubernur, jadi presiden, saya sangat
dekat. Tapi enam bulan ini saya kecewa sekali dengan Mulyono. Tulis, enggak
apa-apa. Kecewa sekali,” tegas Sidarto dalam keterangannya, Senin, 25 November
2024.
Dikatakan Sidarto, Jokowi dibesarkan oleh orang tuanya di
PDIP, mulai dari pengusaha kayu, menjadi walikota, gubernur dan presiden. Tapi
sekarang, Jokowi justru berusaha menghancurkan orang tuanya.
“Baik tidak itu? Sangat tidak baik. Kalau dia pensiun,
seharusnya dia seorang sosok negarawan. Bukan memihak justru lawan politik dari
PDIP. Dia melawan orang tua yang membesarkan dia. Sangat tidak baik,” tegasnya
lagi.
“Saya dekat dengan beliau, dalam six month terakhir, saya
kecewa sekali dengan dia dukung Ahmad Luthfi,” imbuhnya.
Terkait netralitas Polri-TNI di pilkada serentak, Sidarto
mengatakan, memahami demokrasi di Indonesia adalah cukup dengan istilah NPWP.
Yakni kependekan dari “Nomor Piro, Wani Piro” yang artinya “Nomornya berapa,
Beraninya Bayar Berapa”.
“Bagi saya, demokrasi di Indonesia itu masih NPWP, Nomor Piro
Wani Piro, jadi apa saja. Jadi kepala daerah, anggota dewan, jadi apa saja itu
semua dengan uang,” ungkapnya.
Dan uang di pemilu itu datang dari para oligarki yang akan
mengambil kembali lewat proyek-proyek di pemerintahan. Menurutnya hal itu
disengaja agar bisa berulang kali dilakukan.
“Untuk jadi gubernur ratusan M (milar), dibantu bohir, nanti
waktu jadi, proyek diambil bohir, akhirnya apa, dalam 20 tahun jalan, jembatan
ambrol kabeh,” selorohnya.
“Dengan bangunan seperti sekarang yang dibantu bohir karena
pemilihan NPWP tadi, di Eropa di negara maju, tokoh itu dibiayai publik. Obama
menjadi presiden dua kali dibiayai publik. Kamala Harris walaupun kalah
dibiayai publik. Di sini, tokoh membiayai publik, inilah sumber korupsi di
sini, ya,” tandasnya. (rmol)