Sekretaris Kementerian BUMN 2005-2010, Said Didu
JAKARTA – Mantan Sekretaris BUMN Said Didu menjadi sorotan usai
dilaporkan ke polisi terkait kritiknya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN)
di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Tangerang, Banten.
Said Didu meminta Presiden Prabowo Subianto meninjau ulang
pembangunan kawasan di Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berlokasi di Pantai
Indah Kapuk (PIK) 2, Tangerang itu yang membuat banyak warga tergusur.
"Dari Pantai Tangerang, terjadi Penggusuran rakyat yang
dibungkus atas nama PSN Pantai Indah Kapuk 2, saya ingin titip pesan kepada
Presiden terpilih Jenderal Prabowo, saya berharap jiwa kerakyatan, jiwa
nasionalisme, jiwa keadilan dari Prabowo terbuka, melihat rakyat yang digusur
dengan semena-mena dari wilayah mereka," kata Said Didu dalam videonya.
"Ratusan ribu hektar lahan tambak, sawah, kampung
digusur oleh PIK 2. Saya paham jiwa Presiden terpilih, memiliki jiwa
nasionalisme untuk tinjau kembali proyek seperti ini yang faktanya hanyalah
menggusur rakyat, Rakyat tidak melawan pembangunan, yang rakyat inginkan
hanyalah keadilan, yang diinginkan bukan penggusuran, tapi tambah kesejahteraan
mereka, rakyat diberikan ganti rugi hanya Rp50 ribu, setelah itu dijual
Rp30juta oleh pengembang, saya titip ini pesan ke Prabowo, lindungi rakyat
mu," sambungnya.
Kritik yang dilontarkan melalui media sosial itu dianggap
melanggar hukum oleh pihak Asosiasi Pemerintah Daerah Seluruh Indonesia
(APDESI) Kabupaten Tangerang atas tudingan provokasi PIK 2.
Menanggapi kasus ini, lebih dari 200 individu berlatar
belakang aktivis dan tokoh nasional yang bergabung dalam Tim Advokasi yang
terdiri dari berbagai organisasi advokasi/bantuan hukum, kantor hukum, dan individu advokat mengecam keras upaya
kriminalisasi terhadap Said Didu.
Tim Advokasi itu di antaranya LBHAP PP Muhammadiyah, YLBHI,
LBH Jakarta, Themis Indonesia, AMAR Law Firm dan PBH. Menurutnya sejak awal,
rangkaian proses hukum terhadap Said Didu ini kami duga bertujuan untuk
membungkam kritik keras Said Didu terhadap implementasi kebijakan Proyek
Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk 2 (PSN PIK-2)
"Alih-alih dihentikan, proses hukum ini justru terus
berlanjut. Dalam perkembangan yang terbaru, Said Didu justru dipanggil oleh
Satreskrim Polresta Tangerang untuk hadir memberikan keterangan sebagai saksi
pada 19 November 2024," tulis siaran pers Tim pengacara Said Didu yang
diterima VIVA.co.id, Senin 18 November 2024.
"Ia akan dimintai keterangan sehubungan dengan dugaan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran informasi yang
sifatnya menghasut dan menimbulkan kebencian,
Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang penyebaran berita bohong, serta Pasal
310 tentang pencemaran nama, dan Pasal
311 KUHP tentang fitnah," sambungnya.
Pernyataan Sikap Tim Pengacara Said Didu
Menanggapi kasus hukum yang menjerat Said Didu, tim pengacara
memberikan pernyataan resmi sebagai berikut:
Pertama, proses hukum terhadap Said Didu adalah pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara. Hal tersebut
karena berbagai pernyataan Said Didu terkait dengan PSN PIK-2 merupakan
pendapat atau ekspresi yang disampaikan di ruang publik secara sah dan damai,
serta dijamin oleh berbagai instrumen hukum dan HAM baik di level nasional
maupun internasional.
Dalam konteks ini, negara, khususnya pemerintah berposisi
sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Artinya negara wajib menghormati,
melindungi, dan memenuhi HAM dan hak konstitusional warga negara.
Oleh karenanya, segala macam gangguan atau intervensi
terhadap pendapat atau ekspresi individu, dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran HAM. Termasuk di dalamnya gangguan atau intervensi yang dilakukan
melalui suatu proses hukum.
Kedua, Said Didu adalah figur publik yang aktif menyuarakan
berbagai persoalan ketidakadilan, khususnya mengenai proyek-proyek pembangunan
yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Bukan hanya soal PSN PIK-2, Said
Didu juga mengkritisi PSN Rempang Eco City, proyek pembangunan Bandara Kertajati
dan jalan tol Becakayu, serta banyak kebijakan pembangunan lainnya.
Kritik yang disuarakan di ruang publik merupakan bagian dari
partisipasi warga negara untuk kepentingan publik. Hal tersebut adalah hal yang
lumrah dalam negara yang mengaku diri sebagai negara yang demokratis.
Jika dikaitkan dengan proses hukum yang bergulir terhadapnya,
maka hal ini kami nilai sebagai kriminalisasi. Adapun yang kami maksud sebagai
kriminalisasi merujuk pada dua penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk
tujuan penegakan hukum itu sendiri. Akan tetapi, kewenangan-kewenangan
penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum dan motif lain
di baliknya, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan seseorang yang diproses
hukum dilandasi dengan itikad buruk (improper motive or improper purpose).
Itikad buruk tersebut salah satunya dapat dilihat dari
ketidakjelasan kedudukan hukum (legal standing) pihak yang diduga sebagai
pelapor. Sebagaimana diketahui dari berbagai pemberitaan yang beredar, Said
Didu dilaporkan ke Polresta Tangerang oleh seseorang bernama Maskota, yang
merupakan Kepala Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (APDESI) Kabupaten
Tangerang sekaligus Kepala Desa Belimbing, Kecamatan Kosambi Kabupaten
Tangerang.
Jika dicermati, tidak ada relevansi antara pernyataan Said
Didu dengan Maskota, dalam berbagai pernyataannya mengenai PSN PIK-2, Said Didu
bahkan tak sekalipun pernah menyebut nama Maskota. Oleh karenanya, sudah barang
tentu tidak ada pula kerugian materiil maupun immateriil yang dialami Maskota sebagai
pelapor.
Berdasarkan berbagai informasi dan kecenderungan anti kritik
pihak-pihak yang berkepentingan dalam PSN PIK-2, seperti melakukan somasi
terhadap media yang meliput dampak buruk pembangunan PSN PIK-2, kami menduga
kuat bahwa proses hukum terhadap Said Didu ini merupakan upaya kriminalisasi
guna memuluskan proses pembangunan.
Hal ini sejalan dengan temuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) yang mencatat kriminalisasi sebagai salah satu pola untuk
menaklukan pihak yang kritis. Dalam temuan tersebut, YLBHI menemukan adanya 43
kasus kriminalisasi sejak kebijakan PSN diimplementasikan.
Ketiga, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Said Didu
dilaporkan dengan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3) UU ITE, serta Pasal
310 dan Pasal 311 KUHP. Jika dicermati, pasal pasal tersebut sama sekali tidak
relevan dengan apa yang dilakukan oleh Said Didu. Unsur-unsur dalam pasal-pasal
tersebut tidak terpenuhi jika dikaitkan dengan apa yang menjadi kritik Said
Didu.
Sejak awal, Said Didu secara konsisten mengkritik pembangunan
PSN PIK-2. Dalam berbagai kritiknya, yang menjadi titik fokus adalah mengenai
implementasi PSN PIK-2 menimbulkan persoalan ketidakadilan. Tidak terdapat
tendensi SARA maupun kebohongan, apalagi kerusuhan atau keonaran yang timbul
dalam kehidupan sosial masyarakat sebagaimana yang dituduhkan.
Oleh karenanya, penerapan pasal-pasal tersebut bertentangan
dengan SKB antara Menkominfo RI, Kapolri, dan Jaksa Agung mengenai Pedoman
Implementasi UU ITE disebutkan mengenai pentingnya pembuktian motif dalam Pasal
28 ayat (2) UU ITE yang harus betul-betul membangkitkan permusuhan atas dasar
SARA. Begitu pula dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE dan kaidah hukum
dalam Putusan MK Nomor 78/PUUXXI/2023 yang pada pokoknya menyatakan bahwa "kerusuhan"
atau “keonaran” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik,
bukan kondisi di ruang digital/siber.
Hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir,
yang seharusnya digunakan dalam hal upaya-upaya lain telah dicoba dan tidak
memadai untuk menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan.
Dalam kasus ini, sudah sepatutnya digunakan terlebih dahulu
upaya-upaya lain di luar hukum pidana seperti klarifikasi atau mediasi maupun
upaya-upaya pada bidang hukum lain.
Penggunaan instrumen hukum pidana sebagai langkah awal dan
utama (premium remedium) justru menguatkan dugaan bahwa aparat penegak hukum 3
tidak paham dan taat asas, serta dalam pelaksanaan kerja-kerjanya rentan
diintervensi kepentingan korporasi tertentu.
Berdasarkan pandangan-pandangan kami di atas, demi keutuhan
demokrasi serta ikhtiar penghormatan dan perlindungan HAM, kami mendesak
Kapolri untuk memerintahkan jajaran di bawahnya, khususnya Kapolresta Tangerang
agar segera menghentikan proses penyidikan dalam perkara ini. (*)