Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
JOKOWI, dan kini, Gibran adalah pemimpin yang sarat dengan
skandal. Skandal adalah insiden yang dipublikasikan dan melibatkan dugaan
pelanggaran, aib atau pencabulan moral. Skandal bisa didasarkan pada kenyataan,
produk dugaan salah, atau campuran keduanya (KBBI). Jika skandal terjadi pada
warga biasa mungkin masih wajar, tetapi jika dilakukan oleh seorang pemimpin
maka hal itu tidak boleh dibiarkan bahkan harus dikenakan sanksi.
Konstitusi negara Republik Indonesia UUD 1945 memberi ruang
untuk memberhentikan seorang Presiden atau Wakil Presiden yang terlibat skandal
dengan sebutan "perbuatan tercela". Demikian juga Ketetapan MPR No VI
tahun 2000 mengatur hal itu sebagai pelanggaran "etika kehidupan
berbangsa" serta ideologi Pancasila telah menarasikan dengan
"kemanusiaan yang adil dan beradab".
Di antara skandal Jokowi yang terus berkembang dari awal
hingga akhir masa jabatan adalah ijazah palsu. Bagaimana bangsa besar dan konon
beradab dapat mentolerir dan membiarkan Presidennya berijazah palsu ? Tanpa
merasa salah ia telah menjalankan jabatannya hingga dua periode.
Rakyat mengusik status ijazah ini. Diawali tuduhan Bambang
Tri, namun alih-alih Jokowi membantah kebenaran tuduhan itu justru
mengkriminalisasi Bambang Tri dan Gus Nur. Keduanya dipenjara akibat
"ujaran kebencian" bukan akibat
Jokowi telah mampu membuktikan keaslian ijazah Sekolah Menengah atau Perguruan
Tingginya.
Saat digugat perdata ulang melalui PN Jakarta Pusat Jokowi
pun berbelit-belit lewat debat status
sebagai Presiden atau pribadi untuk membuktikan kepemilikan dan keaslian ijazah
Perguruan Tinggi. Hingga tahap ini baik saat mediasi maupun proses perkara,
ijazah asli yang ditunggu rakyat untuk ditunjukkan itu tidak muncul juga.
Jokowi tidak memiliki itikad baik dan hal ini menimbulkan konklusi bahwa Jokowi
memang tidak memiliki ijazah atau ijazahnya tidak asli alias palsu.
Pemalsuan dokumen baik pemalsu, penyuruh, pembujuk atau
penyerta dari pembuatan suatu dokumen terancam pidana penjara. Begitu juga
dengan yang membantu dan pengguna. Pasal 263 KUHP mengancam maksimal 6 tahun
sedangkan Pasal 266 KUHP 7 tahun penjara.
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga berskandal baik
soal ijazah MDIS Singapura dan ijazah UTS Insearch Australia dengan Keterangan
Dirjen PAUD tentang kesetaraan, juga skandal Fufufafa yang menghebohkan. Cermin
kerendahan moral dan ketidakpatutan seorang Wakil Presiden.
Sebagaimana ayahnya Gibran juga perlu diusut dan disidik
status ijazah baik yang digunakan untuk pemenuhan persyaratan Cawalkot maupun
Cawapres nya. Skandal ijazah ini menjadi ironi karena bangsa Indonesia sedang
berjuang untuk memiliki pejabat atau pemimpin yang cerdas, jujur, berakhlak
serta kompeten.
Skandal lain Gibran yang meruntuhkan kecerdasan dan moralitas
dirinya adalah Fufufafa. Keyakinan publik bahwa pemilik akun itu adalah Gibran
sulit untuk dibantah. Ada penodaan agama, ujaran kebencian dan pornografi pada
konten Fufufafa tersebut. Seluruh perilaku kriminal itu diancam dengan hukuman
penjara.
Atas perbuatan penodaan agama melanggar Pasal 156a KUHP
Gibran terancam penjara maksimal 5 tahun, atas ujaran kebencian Pasal 27 dan 28
UU ITE ancaman 6 tahun dan atas pidana pornografi UU No 44 tahun 2008 Gibran
terancam maksimal 12 tahun. Dengan ancaman tersebut Gibran Rakabuming Raka bisa
ditangkap dan ditahan sambil menjalani proses peradilan.
Skandal ijazah palsu Jokowi dan Gibran harus dibongkar
tuntas. Demikian juga dengan politik dinasti yang dijalankannya. Hal ini
menjadi konsekuensi dari pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan
negara kekuasaan. Jokowi sebagai mantan Presiden dan Gibran sebagai Wakil
Presiden berkedudukan sama di depan hukum.
Jika hukum obyektif diberlakukan, maka bukan mimpi bahwa
bapak dan anak itu Jokowi dan Gibran akan berlama-lama berada dalam sel penjara
sambil merenung, menyesal, dan bertobat.
Itupun jika keduanya memang beriman atau beragama. (*)
Bandung, 26 November 2024