Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Di hari-hari pencoblosan Pilkada beredar video Jokowi dengan
berbagai kandidat jagoannya masing-masing mendapat "titipan"
publikasi Jokowi "saya titip" Tegal, Kediri, Pemalang, Badung dan
lain-lainnya. Netizen nakal menyebut Jokowi kini membuka perusahaan PT Titipan.
Ya, dalam waktu pendek beredarlah video itu. Ini bisnis Jokowi's titipan kilat.
Jadi pengiklan biasanya tidak gratisan, bisa bayar di muka
atau di belakang. Lumayan bisnis jasa namanya. Baru kali ini politik menjadi
lapangan kerja untuk jasa titipan. Rupanya Jokowi ikut menjadi pelopor ekonomi kreatif. Merenung, benar juga
ucapan Rocky Gerung bahwa Jokowi itu bajingan. Bajingan titip menitip.
Cawe-cawe mantan Presiden diikuti oleh iklan Presiden baru
Prabowo yang juga "menitipkan"
beberapa kandidat untuk dipilih. Maklum Prabowo juga produk dari cawe-cawe
Jokowi. Indonesia nampaknya sedang memperkenalkan model demokrasi baru kepada
dunia yaitu "demokrasi cawe-cawe". Demokrasi dimana kedaulatan rakyat
hanya sebagai tipu-tipu.
Sejak memperpanjang jabatan pada Pilpres 2019 Jokowi telah
menjalankan demokrasi cawe-cawe dengan tidak berhentinya Presiden. Berbeda pada
Gubernur dan Walikota/ Bupati. Ia tetap bisa mengerahkan semua aparat birokrasi
untuk memenangkan dirinya. Prabowo akhirnya babak belur dihajar oleh status
quo. Ini namya demokrasi cawe-cawe dewek.
Pilpres 2024 demokrasi cawe-cawe Jokowi lebih kampungan dan
semakin tidak intelek. Demi sukses menjadikan anaknya Wapres maka MK, KPU,
Kementrian dan aparat negara menjadi tim sukses kepentingan Jokowi. Setelah
sukses bermain dengan menghalalkan segala cara, maka Presiden baru dijadikan
boneka atau wayang. Gemoy bergeboy-geboy sambil digantung dan diikat lehernya.
Setelah tidak menjabat Presiden demokrasi cawe-cawe masih
diteruskan melalui bisnis titipan kilat. Tentu bukan begitu saja titipan itu
dikirim tetapi dikawal oleh partai politik baru
yang bernama "Chocolate Party". Partai yang memiliki jaringan luas dan dana tak terbatas. Sejalan
dengan konsep gila Mendagri sekarang Tito Karnavian yang seolah ingin
menjadikan Indonesia sebagai Negara Polisi (Police State).
Konsep ilmiahnya adalah Democratic Policing yakni polisi yang
berperan dalam proses demokrasi atau proses politik. Konsep itu secara tak
langsung adalah "balas dendam" dari kebijakan "Dwi Fungsi
ABRI" dahulu. Polisi yang menjadi pengaman demokrasi berubah menjadi
pemain, bahkan pengendali dari demokrasi. Berbeda dengan "Green
Party" yang bermisi menjaga lingkungan maka "Chocolate Party"
justru merusak.
Demokrasi cawe-cawe Jokowi yang secara demonstratif mempertunjukkan sisa-sisa
kekuasaannya tentu bukan tidak berisiko. Risiko terberat adalah Jokowi
dipastikan akan menjadi musuh rakyat,
penghianat negara, dan penjahat politik. Tidak ada kata maaf bagi kesalahan
politik yang telah dilakukannya. Jokowi menjadi "most wanted person"
yang diburu publik sampai ke lubang semut.
Setelah selesai Pilkada yang menjadi ajang bisnis Jokowi
melalui titipan kilatnya, maka Prabowo harus segera melepas tali di lehernya
yang menjadikan dirinya sebagai wayang atau boneka. Ganti Kapolri dan Jagung
dengan orang pilihan Prabowo sendiri. Tegaskan bahwa kedaulatan hukum dihormati
dan Presiden tidak akan ikut campur dalam urusan hukum. Hukum berjalan mandiri.
Ketika rakyat mendesak Jokowi dan dinastinya agar diproses
hukum, maka Prabowo tidak berhak untuk memproteksi melainkan menyerahkan kepada
obyektivitas dari hukum itu sendiri. Bila Jokowi tak bersalah (not guilty)
hukum akan membebaskan, sebaliknya jika bersalah (guilty) maka hukum memberi
sanksi baik bui ataupun mati.
Bisnis Jokowi's titipan kilat sangat memprihatinkan dan
menginjak-injak rasa keadilan, karenanya harus dihentikan. Caranya adalah
dengan segera menangkap, menahan, dan menyeret Jokowi ke dalam proses
peradilan. Sangat urgen keberadaan Kapolri dan Jagung baru. Prabowo harus
berani. (*).