Oleh: Lukas Luwarso
KABINET pemerintahan Prabowo sudah diumumkan dan dilantik.
Segera berbagai julukan bernada sinis dan minor terlontar dari publik,
mempertanyakan banyaknya jumlah menteri dan wakilnya.
Julukan kabinet bagi-bagi kursi, bagi-bagi rejeki, kabinet
akomodasi, hingga kabinet obesity berhamburan. Intinya publik meragukan
kapabilitas kabinet yang resminya dinamai “Merah Putih” ini.
Apalagi jika banyaknya jumlah menteri dan dipilihnya
“nama-nama kontroversial” dikaitkan dengan pidato Presiden Prabowo, terasa
tidak terjadi link and match. Pidato presiden mengesankan ingin menjalankan
pemerintahan yang baik.
Ingin memberantas korupsi, ingin mengutamakan kepentingan
rakyat. Berniat mengurangi kebocoran anggaran dan penyimpangan, termasuk
mempersoalkan praktek kolusi pejabat dengan pengusaha nakal.
Pidato pertama Prabowo selaku presiden terdengar meyakinkan
sebagai “omon-omon”. Apakah ia akan walk the talk, serius menjalankan
ucapannya, masih harus dibuktikan beberapa bulan ke depan.
Namun yang sudah terbukti, pembentukan kabinet menunjukkan
adanya gejala disonansi kognitif (cognitive dissonance), ketidakselarasan
pikiran Prabowo.
Disonansi kognitif
terjadi ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan apa
yang ia ketahui, ucapkan, atau yakini. Terjadi Inkonsistensi antara ucapan dan
perbuatan. Orang yang mengalami disonansi kognitif biasanya mengalami
konflik–atau tekanan– mental, dan ketegangan emosional.
Orang yang tahu solusi dan berniat mengatasi problem, tapi
enggan melakukan. Orang gemuk yang bertekad ingin langsing, namun enggan olah
raga dan terus melahap makanan cepat saji, adalah contoh penderita disonansi
kognitif.
Kabinet Merah Putih yang gemuk adalah produk disonansi
kognitif Prabowo. Ia tahu solusi untuk mengatasi berbagai problem kenegaraan,
yang ia ucapkan dalam pidato dengan penuh semangat. Namun ia toh menyusun
kabinet yang gemuk, memilih orang-orang yang salah, dan mengabaikan aspirasi publik.
Prabowo mustinya tahu, mustahil kabinetnya bisa bekerja
secara efektif dan efisien, dengan jumlah menteri, wakil menteri, dan ketua
badan setingkat menteri yang mencapai 109 orang. Kabinetnya terlalu gembrot
untuk mampu berkinerja secara tangkas, ringkas, gesit, dan elastis.
Potensi terjadinya tumpang tindih, persaingan portofolio,
kelambanan birokrasi, atau gesekan kepentingan bakal muncul dalam pengambilan
kebijakan, koordinasi, dan pelaksanaan kerja di lapangan.
Jumlah kementerian yang banyak jelas membutuhkan birokrasi,
staf, dan anggaran operasional yang besar. (Termasuk semakin memacetkan
Jakarta, karena semakin sering iring-iringan Voorijder untuk membuka jalan para
menteri yang ingin keluyuran).
Kabinet gemuk adalah sebuah pemborosan di tengah situasi
ekonomi yang dibayangi defisit anggaran dan utang yang melambung. Semakin besar
dan kompleks organisasi pemerintahan, semakin membuka peluang terjadinya
korupsi, penyelewengan, penyimpangan, dan penyalahgunaan.
Kabinet gemuk jelas menyalahi prinsip pemerintahan negara
demokratis. Tidak selaras dengan adagium “That government is best which governs
the least” (pemerintahan terbaik adalah yang paling sedikit memerintah).
Ungkapan ini menegaskan karakteristik sistem demokrasi yang
menempatkan fungsi pemerintah sekadar menjalankan hal-hal yang tidak dapat
dilakukan warga. Negara yang banyak aturan, dan terobsesi mengatur banyak hal,
adalah kecenderungan negara otoriter.
Indonesia bisa belajar dari negara-negara maju yang jumlah
kementeriannya ramping, seperti Jepang (14 kementerian), Singapura (15), Korea
Selatan (18), Amerika (18), China (26). Atau menengok negara “kapiran”, seperti
Sri Lanka yang pernah memiliki 107 menteri, Pakistan (76) menteri, Afrika
Selatan (75).
Struktur kabinet gembrot jelas bukan dimaksudkan untuk
kepentingan rakyat, melainkan hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik.
Untuk mengamankan dan menyamankan posisi, agar praktek pat-gulipat dan mufakat
gelap tidak terganggu.
Khususnya dalam kultur pemerintahan dan politik yang masih
kental dengan praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan kecenderungan politkusnya
memperkaya diri — hal yang diketahui Prabowo dan ia suarakan dalam pidato
pelantikannya.
Power tends to corrupt, semakin besar struktur pemerintahan
semakin besar korupsinya. Kabinet yang gembrot hanya akan menumbuhkan budaya
_sycophancy_ dan praktek politiking yang kontra-produktif. Dalam dunia bisnis
dikenal ungkapan: “If your boss is an egomaniac, sycophancy always pays dividends.” Loyalitas
buta akan menjadi norma dan etos kerja.
Kabinet produk disonansi kognitif Prabowo jelas bakal
memperkuat sistem oligarki, yang 10 tahun di era Jokowi semakin berkembang
berurat-berakar, dan akan berlipat ganda kekuatannya. Yang menyolok,
terpilihnya orang yang jelas-jelas berperan sebagai “liaison officer” para
oligark di era Jokowi diangkat jadi menteri.
Belum lagi sejumlah menko yang disinyalir “korban politik
sprindik”, tersandera korupsi di era Jokowi, masih dipakai. Termasuk sejumlah
nama yang dikenal sebagai “public enemy” karena kegemaran memancing kontroversi
dan sikap inkonsisteni.
Melihat struktur gemuk, susunan , dan nama-nama yang masuk
kabinet produk disonansi kognitif ini, rasanya cuma “keajaiban” yang bisa
membuatnya mampu berkinerja. Atau, kita boleh berharap, ketika gangguan
disonansi kognitif yang menimpa kepala pemerintahan segera sembuh.(*)