Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
SUARA mengejek anggota MPR kepada keluarga Jokowi termasuk
Gibran patut menjadi catatan sebagai realitas politik. Pada rakyat kebanyakan suara
huuuu itu sudah jauh lebih keras gemuruhnya. Pidato Presiden yang berapi-api
melempem seolah tersiram air oleh profil
Wapres yang mendampingi. Dari sudut manapun kita menilai bahwa Gibran adalah
parasit yang menempel pada Prabowo dan bangsa Indonesia.
Gibran tidak memenuhi syarat administratif atas kesehatan
yang semestinya. Dengan Fufufafa ia menampilkan diri berperilaku tercela. Sulit
menepis atas kepemilikan akunnya. Gibran bertahan karena ditolong oleh ayahnya,
dan publik tahu akan hal ini. Tanpa cawe-cawe Jokowi ia bukan siapa-siapa.
Mungkin lebih cocok untuk tetap berjualan martabak di Solo dan cabang-cabang
lainnya.
Mengenai kualitas juga dipertanyakan. Mantan Walikota tidak tamat ini masih suka dengan
mainan anak-anak dan bacaannya komik. Hal yang tidak sepadan dengan jabatan
yang begitu tinggi dan menentukan. Seorang pengamat dalam wawancara podcast
menyebut Gibran sebagai Wapres akan berfungsi lima yaitu tukang gunting pita,
pukul gong, pecah kendi, lepas burung dan lepas balon.
Berbagai penyakit baik perusakan konstitusi, demokrasi, hak
asasi, moral dan agama akan membahayakan stabilitas pemerintahan Prabowo.
Gibran bukan kohesi tetapi kuman penggerus kewibawaan pemerintahan. Rakyat akan
menyerang Istana dari pintu butut Gibran. Prabowo terlalu berisiko jika terus
melindunginya. Melindungi sama saja dengan bunuh diri.
DPR dan MPR baru harus membaca bahaya instabilitas ini.
Melakukan antisipasi dini sebelum proses pembusukan terjadi. Pidato pelantikan
Prabowo tentang pemulihan kedaulatan rakyat mesti menjadi spirit bagi DPR dan
MPR untuk menempatkan diri sebagai lembaga yang lebih aspiratif dan terbuka.
Saatnya untuk mendengarkan suara rakyat.
Beberapa sikap politik DPR dan MPR yang akan dinilai
aspiratif antara lain :
Pertama, DPR melakukan koreksi atas undang-undang yang tidak
memihak kepada rakyat seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU ITE, UU Minerba dan
lainnya.
Kedua, membudayakan penggunaan hak angket untuk kasus dugaan
korupsi, pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang. Proteksi politik untuk
obyektivitas penegakan hukum.
Ketiga, membuka kran aspirasi berbagai elemen masyarakat
seperti mahasiswa, buruh, ormas keagamaan dan akademisi. Tidak phobia untuk
melakukan dengar pendapat dengan kelompok kritis atau oposisi.
Keempat, DPR dan MPR mesti siap menjalankan hak
konstitusional untuk memakzulkan Presiden atau Wakil Presiden sepanjang sesuai
dengan aturan hukum dan berbasis pada aspirasi rakyat.
Gibran sudah sangat layak untuk dicopot dari kedudukan
sebagai Wapres atas dasar tidak memenuhi syarat dan perbuatan tercela. MPR
berlandaskan Pasal 7A UUD 1945 dan Pasal 3 Tap MPR No VI tahun 2001 serta Pasal
169 J UU No 7 tahun 2017 sudah semestinya melakukan impeachment.
Tidak perlu menunda-nunda sebab penundaan adalah jalan bagi
pembusukan politik. Semakin lama tertunda, karat akan semakin menebal. Sulit
untuk dibersihkan kecuali dengan amputasi total. Terlalu mahal biaya untuk
revolusi sosial dan politik.
Cegah pembusukan politik dengan mencopot segera Gibran bin
Jokowi.
DPR dan MPR harus memiliki nyali, bukan tenggelam dalam lobi
lobi atau sekedar memakan gaji. Rakyat telah sampaikan aspirasi, kini sedang
menanti bukti.
Copot Gibran, makzulkan Gibran, buang Gibran dan tenggelamkan
Gibran. Pemimpin sampah tidak boleh dipertahankan di negara yang berketuhanan,
adil dan beradab. (*)