Kabinet Merah Putih pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka/Net
OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
KABINET Merah Putih mempunyai 48 menteri, 56 wamen, 5 pejabat
setingkat Menteri, ditambah Panglima TNI, Kapolri, dan Sekretaris Kabinet per
22/10/2024. Itu suatu jumlah anggota kabinet pemerintahan yang terbanyak,
bahkan jika dibandingkan Kabinet 100 menteri periode pemerintahan Presiden
Soekarno sekalipun.
Dengan menggunakan asumsi bahwa Indonesia adalah negara besar
dan mempunyai wilayah yang luas dibandingkan benua Eropa, maka desain kabinet
yang telah dilantik sebanyak itu.
Persoalan teknis kemudian adalah ketersediaan APBN 2024 yang
tinggal 2,5 bulan lagi dan RAPBN 2025 memerlukan revisi-revisi. Amandemen APBN
2024 dan RAPBN 2025 diperlukan, agar lebih sesuai dengan desain organisasi
pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Persoalan bukan hanya mengenai nomenklatur yang dapat
memerlukan waktu selama berbulan-bulan, yang bisa mencapai 8 bulan berdasarkan
pengalaman perubahan nomenklatur yang dipraktekkan pada awal pemerintahan
Presiden Joko Widodo.
Hal itu sekalipun untuk pemekaran Kementerian/Lembaga non
Kementerian yang baru, atau pun memerlukan waktu sekitar 1,5 tahun konsolidasi
berkaitan dengan pembentukan Kementerian/Lembaga non Kementerian yang baru.
Implikasinya adalah sungguh sulit diharapkan bahwa
pemerintahan Kabinet Merah Putih akan berhasil menghasilkan kinerja yang
bersifat spektakuler untuk periode analisis 100 hari kerja pertama.
Gelora semangat yang besar untuk membangun Pembangunan
nasional itu, memerlukan dukungan logistik yang lebih besar dari utang-utang
baru, keberhasilan mencapai rasio pajak 23 persen, perbaikan teknologi
pemerintahan dan manajemen birokrasi pemerintahan yang lebih efisien serta
bekerja lebih cepat.
Pembiayaan APBN dari sumber utang Rp 648,1 triliun tahun 2024
dari belanja negara sebesar Rp 3.325,1 triliun tahun 2024, yang tinggal 2,5
bulan sudah jelas kurang dibandingkan kebutuhan kabinet untuk bekerja dengan
efisien sekalipun.
Kementerian/Lembaga non Kementerian yang sudah exist tetap
memerlukan reorganisasi, kecuali untuk Menteri dan Kementerian non Lembaga yang
pada orang yang sama. Akan tetapi terdapat Kementerian/Lembaga non kementerian
yang baru, dimana bukan hanya diperlukan kantor yang baru dan pembentukan
organisasi yang baru, yang solid, serta APBN hasil amandemen.
Kemudian untuk berhasil mengamandemen APBN diperlukan
rapat-rapat koordinasi yang panjang, termasuk membongkar ulang RAPBN 2025.
Pembiayaan APBN 2025 dari sumber utang sebesar Rp 775,9
triliun dan belanja negara sebesar Rp 3.613,1 triliun tidak terdisain secara
cukup untuk mempraktekkan sasaran pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun dari
sasaran semula 5,2 persen per tahun.
Demikian pula dengan sasaran rasio pajak sebesar 23 persen,
dibandingkan sasaran rasio pajak yang semula sebesar 10,24 persen. Akibatnya
adalah diperlukan kegiatan administrasi rapat-rapat ulang yang panjang antara
pemerintah dengan DPR.
Untuk Kementerian yang mempunyai jalur koordinasi dengan
pemerintah daerah, tetap diperlukan reorganisasi yang baru. Perubahan Menteri
seringkali diikuti oleh perubahan pejabat-pejabat di bawah Menteri hingga
pejabat-pejabat eselon terendah.
Itu semua memerlukan ketersediaan waktu yang sulit siap dalam
100 hari kerja pertama. Kesemuanya itu, baik revisi APBN 2024 dan RAPBN 2025
sangat diperlukan untuk merealisasikan 17 program prioritas dan 8 program hasil
terbaik cepat. Jika amandemen UU APBN tidak dikerjakan, maka akan terjadi
pengulangan sebagaimana di awal pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo.
Misalnya ketika itu program swasembada pangan tidak tercapai
sesuai sasaran. Pembangunan infrastruktur mengalami banyak kendala di awal
pemerintahan pertama. Hanya groundbreaking-groundbreaking saja dapat dikerjakan
di awal pemerintahan ketika itu.
Rapat-rapat terkendala, terlebih untuk tugas dinas di luar
kantor sebagai konsekuensi dari persoalan nomenklatur yang membuat pendanaan
kegiatan rutin, terlebih kegiatan pembangunan menjadi bersifat dorman.
Sekalipun Menteri Keuangan tetap masih Sri Mulyani Indrawati
dan bersifat langsung di bawah Presiden, bukan berarti masalah nomenklatur
dapat diselesaikan sangat dipercepat. Ada sangat banyak item program yang perlu
didesain ulang, termasuk APBN yang memerlukan persetujuan ulang dari DPR.
Dengan keberadaan parpol PDIP, Nasdem, dan PKS berfungsi
sebagai pendukung pemerintahan yang berada di luar pemerintahan, maka Kabinet
Merah Putih memerlukan dialog-dialog panjang untuk mencapai kesepakatan politik
APBN, maupun untuk membicarakan program-program pemerintah.
Sekalipun kabinet dikonsolidasikan menggunakan taktik
pelatihan semi militer di base camp bukit Tidar Magelang selama 3 hari, bukan
berarti masalah konsolidasi urusan administrasi dan pekerjaan sipil tersebut di
atas mengenai urusan nomenklatur dan percepatan orientasi organisasi
pemerintahan dapat terselesaikan.
Bagaimana pun sama sekali tidak sama antara persiapan untuk
urusan administrasi masyarakat sipil dibandingkan dengan pendekatan metoda
militerisme. Metodologi pelatihan pasukan khusus, misalnya berenang dari pantai
Tanjung Perak Surabaya ke pulau Madura hanya berbekal pakaian renang dan
sebilah pisau komando, sungguh tidaklah sama untuk metodologi menyiapkan
kecakapan sebagai administratur masyarakat sipil, yang melalui jenjang
pendidikan tinggi masyarakat sipil, dimana hal itu memerlukan waktu
bertahun-tahun dan kursus-kursus sesuai kepangkatan dalam pusdiklat-pusdiklat.
Meskipun demikian, beberapa program kerja pemerintah
diperkirakan akan berjalan lancar secara bertahap, termasuk untuk 8 program
hasil terbaik cepat sekalipun. Misalnya memberi makan siang dan susu gratis di
sekolah dan pesantren maupun bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil.
Menyelenggarakan pemeriksaan Kesehatan gratis.
Untuk menurunkan TBC dan membangun Rumah Sakit lengkap
berkualitas di kabupaten memerlukan waktu lebih dari 100 hari pertama kerja.
Mencetak dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan lumbung pangan
desa, daerah, dan nasional diperkirakan memerlukan waktu yang tidak mudah
dipenuhi sekalipun selama 5 tahun pertama.
Membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi di setiap
kabupaten memerlukan waktu yang panjang dan terkesan bersifat ambisius. Kalau
pembangunan gedungnya mungkin bisa dipraktikkan selama dukungan untuk
memperoleh surat utang pemerintah berhasil diperbesar. Untuk memperbaiki
renovasi sekolah-sekolah sekalipun memerlukan ketersediaan pendanaan yang
cukup.
Yang dapat dipraktikkan sebagai program berkelanjutan adalah
melanjutkan dan menambahkan program kartu-kartu kesejahteraan sosial, akan
tetapi untuk kartu usaha dalam menghilangkan kemiskinan absolut terkesan masih
akan sulit dipraktekkan bahkan untuk 5 tahun sekalipun, kecuali untuk sasaran
mengurangi kemiskinan.
Program menaikkan gaji guru, dosen, tenaga Kesehatan, gaji
TNI Polri, dan pejabat negara sungguh bergantung dari potensi kemampuan
pemerintah menaikkan utang pemerintah yang lebih besar lagi dari perencanaan
RAPBN 2025 di atas.
Demikian pula untuk mempraktekkan kelanjutan Pembangunan
infrastruktur desa, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan menyediakan rumah murah
bersanitasi baik. Sementara itu mendirikan Badan Penerimaan Negara relatif
mudah didirikan, namun untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap
Produk Domestik Bruto yang sebesar 23 persen memerlukan kinerja secara
bertahap.
Demikianlah konsekuensi dari pembangunan nasional berbasis utang, mempraktikkan kabinet besar, dan sasaran pembangunan nasional yang sangat bersemangat. (*)
Penulis merupakan
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar
Universitas Mercu Buana