Sutrisno Pangaribuan/Ist
SANCAnews.id – Badan Legislatif (Baleg) DPR RI
bereaksi cepat dengan merevisi UU Pilkada hingga kehilangan legitimasi moral
sebagai wakil rakyat. Sehari setelah putusan MK dibacakan, DPR RI yang
mayoritas berasal dari partai politik 'tersandera', membahas revisi cepat UU
Pilkada bersama pemerintah.
“DPR RI melakukan pemufakatan jahat bersama pemerintah
melakukan revisi UU Pilkada, melawan putusan MK. Pembangkangan konstitusi dan
penyesatan hukum dilakukan secara bersama dan sengaja oleh DPR RI dan
pemerintah,” kata Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) Sutrisno
Pangaribuan, Rabu (21/8).
Sutrisno menilai apa yang dilakukan oleh DPR RI dengan
mengubah UU Pilkada pasca putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK
Nomor 70/PUU-XXII/2024 dibacakan merupakan hal yang tidak bisa ditolerir.
Putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 yakni tentang ambang batas atau threshold
calon kepala daerah. Sedangkan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait batas
usia calon kepala atau wakil kepala daerah yakni hitungan umur 30 tahun
dilakukan saat penetapan calon kepala dan wakil kepala daerah.
“Konsekuensi putusan tersebut harusnya mutlak bahwa partai
yang memiliki threshold di bawah 20 persen dapat mengajukan calon kepala
daerahnya. Di DKI Jakarta, misalnya, PDIP yang hanya memiliki 15 kursi atau
setara 14% dari total kursi di DPRD DKI Jakarta sebanyak 106. Sesuai dengan
putusan MK, untuk mengajukan calon di Pilkada dengan jumlah pemilih tetap di 6
juta-12 juta cukup memiliki 7,5% kursi di DPRD,” ujarnya.
Dengan putusan MK tersebut, maka PDIP memiliki peluang besar
untuk mengusung calonnya sendiri pada Pilkada 2024. Sementara putusan 70/PUU-XXII/2024 justru berdampak kepada
putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas
Indonesia (PSI). Kaesang terancam tidak dapat menyalurkan ambisi politiknya,
untuk maju sebagai calon wakil gubernur (Cawagub) Jawa Tengah maupun DK
Jakarta.
“Namun bagi DPR RI dan pemerintah, semua hal dapat dilakukan
demi kepentingan politik Jokowi dan keluarga. Akhirnya putusan MK ditafsir
sendiri oleh DPR RI dan pemerintah meski putusan MK tidak butuh tafsir, tetapi
harus dipatuhi dan dijalankan.
Terkait ambang batas minimum yang diputuskan oleh MK kepada
semua Parpol, oleh DPR RI ditafsir hanya kepada Parpol non parlemen. Sedang
terkait usia minimum sebagai syarat pendaftaran, DPR RI dan pemerintah
mengabaikan putusan MK, lalu menggunakan putusan MA sebagai rujukan.
Atas tindakan DPR RI dan pemerintah yang melakukan pembelokan
hukum, pembangkangan konstitusi, kami Kornas menurut Sutrisno menyatakan sikap
sebagai berikut:
Pertama, bahwa tidak terdapat hal ikhwal kegentingan yang
memaksa untuk melakukan revisi UU Pilkada. Maka kami menolak perubahan UU
Pilkada, baik sebagian maupun keseluruhan.
Kedua, bahwa putusan MK final dan mengikat semua, baik
negara, lembaga negara dan warga. Sehingga putusan MK harus dijadikan rujukan
bagi pasal- pasal yang terkait treshold dan batas usia calon di Pilkada
serentak 2024.
Ketiga, bahwa perubahan terhadap pasal- pasal yang telah
diuji dan diputuskan oleh MK tidak lagi dapat dikoreksi atau diubah oleh
lembaga negara mana pun, baik MA maupun
DPR RI.
Keempat, bahwa DPR RI sama sekali tidak pernah secara kilat
melakukan revisi UU kecuali untuk kepentingan kekuasaan politik. Tidak ada UU
tentang kepentingan dan kebutuhan rakyat yang dibahas secara kilat seperti UU
Pemilu, UU MD3, dan UU Pilkada.
Kelima, bahwa saat MK mengubah pasal syarat usia dalam UU
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI bersama pemerintah tidak
melakukan revisi UU. Putusan MK serta merta berlaku karena calon yang semula
tidak memenuhi syarat akhirnya lolos sebagai calon dan kemudian terpilih.
Revisi perlu dilakukan jika UU tidak memenuhi kepentingan politik dan
sebaliknya.
Keenam, bahwa melakukan perubahan UU Pilkada tanpa memasukkan
putusan MK secara utuh dalam perubahan adalah pembelokan hukum, pembangkangan
konstitusi. Tindakan tersebut masuk kategori kejahatan negara, dan termasuk
perbuatan melawan hukum.
Ketujuh, bahwa demi dan atas nama negara, perbuatan
pembelokan hukum dan pembangkangan konstitusi yang dilakukan oleh DPR RI harus
diberi sanksi hukum berupa pembatalan revisi UU Pilkada yang dibahas pasca
putusan MK. Konsekuensi hukum dan politik berikut adalah “Bubarkan DPR RI
periode 2019- 2024, segera diganti DPR RI hasil Pemilu 2024”.
Kedelapan, bahwa pembelokan hukum dan pembangkangan
konstitusi akan dilawan oleh pembangkangan sipil. Rakyat dan mahasiswa akan
merebut kedaulatannya akibat pembelokan cita- cita reformasi yang dilakukan
oleh elit politik, dan penguasa.
“Indonesia sebagai negara hukum harus menjadikan hukum
sebagai panglima. Maka seluruh upaya pembelokan hukum dan pembangkangan
konstitusi harus berhadapan dengan pengadilan rakyat sebagai hukum tertinggi,”
pungkasnya. (rmol)