Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu/ist
SANCAnews.id – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu
mendesak Propam Polri segera mengusut tuntas tindakan kekerasan yang dilakukan
oknum aparat terhadap wartawan saat meliput aksi unjuk rasa tolak Rancangan
Undang-Undang Pilkada di depan gedung DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Ninik menyatakan tindakan represif tersebut bukan saja
melanggar hukum, tetapi juga mengancam kemerdekaan pers yang dijamin
konstitusi.
"Aparat kepolisian harus segera melakukan penyelidikan
internal untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi para jurnalis
yang menjadi korban," ujar Ninik dalam konferensi pers bersama Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) via Zoom pada
Sabtu, 24 Agustus 2024.
Demonstrasi yang disebut sebagai "Aksi Kawal Putusan
MK" ini diikuti oleh ribuan massa yang terdiri dari elemen mahasiswa,
aktivis, dan masyarakat sipil yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi terkait
revisi UU Pilkada.
Aksi yang digelar di depan gedung DPR RI tersebut berujung
ricuh setelah aparat keamanan mencoba membubarkan massa dengan kekerasan.
Insiden ini mengakibatkan beberapa jurnalis yang tengah
meliput menjadi korban kekerasan, dengan laporan yang diterima Dewan Pers
mencatat setidaknya 11 jurnalis mengalami kekerasan fisik dan intimidasi.
Ninik menyoroti bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya
terjadi di Jakarta. Peristiwa ini juga dilaporkan di daerah lain seperti
Semarang dan Yogyakarta. Aparat diduga menggunakan kekerasan yang berlebihan
untuk membubarkan demonstrasi.
Di Semarang, tiga anggota pers kampus bahkan dilaporkan
mengalami sesak napas hingga pingsan akibat paparan gas air mata yang ditembakkan
oleh aparat keamanan.
Menurut Ninik, situasi ini mencerminkan pola berulang dari
kekerasan terhadap jurnalis yang kerap terjadi dalam berbagai aksi massa di
Indonesia, termasuk selama aksi massa dalam Pilpres 2019 dan Pilkada 2017.
Ia menegaskan bahwa jurnalis yang menjalankan tugasnya
dilindungi oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dan segala bentuk
intimidasi serta kekerasan terhadap mereka adalah pelanggaran serius yang harus
ditindak tegas.
Maka dari itu, Ninik meminta Propam Polri untuk tidak
menunggu laporan resmi dari para korban, tapi segera bergerak cepat melakukan penyelidikan
internal terhadap aparat yang diduga terlibat dalam kekerasan tersebut.
"Hasil dari penyelidikan ini harus dipublikasikan secara
transparan agar masyarakat, terutama para jurnalis yang menjadi korban, dapat
memperoleh keadilan," katanya.
Aksi unjuk rasa pada Kamis, 22 Agustus 2024, di depan gedung
DPR merupakan bagian dari protes besar-besaran yang digelar di berbagai kota
besar di Indonesia.
Demonstrasi tersebut dipicu oleh keputusan panitia kerja
(panja) Badan Legislasi DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dalam UU Pilkada.
MK sebelumnya telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala
daerah, memungkinkan partai politik atau koalisi partai yang tidak memiliki
kursi di DPRD untuk mencalonkan kandidat, asalkan memenuhi persyaratan suara
yang ditetapkan.
Namun, revisi yang dilakukan DPR dianggap mengabaikan putusan
MK tersebut, memicu kemarahan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya.
Dewan Pers bersama organisasi jurnalis dan masyarakat sipil
lainnya mendesak agar pelaku kekerasan terhadap jurnalis segera diproses hukum
dan diberi sanksi yang setimpal.
Mereka juga menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap
prosedur penanganan aksi massa oleh aparat kepolisian maupun TNI agar tidak ada
lagi represi terhadap jurnalis. (tempo)