Orasi Sarah Azmi dari Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat di DPRD Provinsi Sumatera Barat (foto: Sarah A/PBHI Sumbar)
Padang – Di tengah terik matahari yang
membakar aspal kota, ribuan warga Sumatera Barat (Sumbar) berbondong-bondong ke
pusat Kota Padang, membawa bendera, spanduk, dan poster yang mengumandangkan
satu pesan kuat: "Indonesia Darurat Demokrasi." Suara-suara ini
bergema dari pelosok negeri, tetapi di Sumbar, mereka terasa begitu kuat,
seperti gemuruh ombak Samudra Hindia yang menghantam karang.
Aksi "Kawal Putusan MK" yang berlangsung di Sumbar
adalah bagian dari gerakan nasional yang menuntut keadilan dari DPR RI dan
pemerintah yang melakukan manuver politik ugal-ugalan dengan merevisi UU
Pilkada pada 21 Agustus 2024 untuk tetap membatasi ruang demokrasi dan
meloloskan upaya Jokowi membangun dinasti politiknya.
"Hanya butuh waktu 2 jam bagi Baleg DPR RI dan
pemerintah untuk menghancurkan fondasi demokrasi yang telah susah payah
dibangun melalui reformasi, dengan menyiasati putusan Mahkamah Konstitusi
sehari sebelumnya (20 Agustus 2024) terkait batasan usia dan syarat pencalonan
Kepala Daerah,"
Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PBHI) Wilayah Sumatera Barat mengecam keras tindakan DPR RI dan
pemerintah yang secara terang-terangan melanggar konstitusi dengan mengabaikan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, kemudian Putusan Nomor
70/PUU-XXII/2024 yang diharapkan mampu menjaga marwah demokrasi dalam proses
pemilihan kepala daerah.
Menurutnya, pembangkangan tersebut dilakukan semata-mata
untuk melumpuhkan demokrasi dan melanggengkan kekuasaan Jokowi dan kroninya
yang didukung kepentingan oligarki.
"Lumpuhnya demokrasi dan hilangnya fungsi oposisi akan
semakin memperburuk upaya penyelesaian masalah perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM), sekaligus mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa untuk menciptakan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,"
“Revisi UU Pilkada ini secara telanjang mewakili
kepentingan-kepentingan politik penguasa, dan prosesnya yang begitu cepat dan
singkat sepenuhnya mengingkari partisipasi dan keberadaan publik. Bila
dibiarkan, praktek-praktek politik berbahaya ini akan mempunyai konsekuensi
yang luas dan serius pada kemaslahatan publik, termasuk dapat memperburuk
konstitusi dan persoalan pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia,” papar Ihsan
Riswandi Ketua PBHI Sumbar pada Selasa, (27/08).
Namun, di Sumatera Barat, aksi yang dilakukan bukan sekadar
mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Lebih dari itu, ini merupakan seruan
atas kondisi demokrasi yang dinilainya makin terancam.
Demokrasi yang Terancam
Rasa frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi negara kian mencuat di tengah masyarakat Sumbar. "Kami merasa bahwa demokrasi sedang berada di ujung tanduk," ujar Firdaus, seorang aktivis mahasiswa dari Presiden BEM KM Universitas Andalas yang turut serta dalam aksi tersebut.
"Institusi-institusi yang seharusnya menjadi pilar
demokrasi, seperti Mahkamah Konstitusi, kini dihadapkan pada tantangan besar
untuk membuktikan bahwa mereka masih dapat dipercaya oleh rakyat."
Firdaus bukanlah satu-satunya yang merasakan keresahan ini.
Di Bukittinggi, kota yang dikenal dengan sebutan "Paris van Sumatra,"
demonstran berkumpul di DPRD Kota Buktinggi dengan semangat yang sama. Mereka
mengungkapkan kekhawatiran atas apa yang mereka anggap sebagai erosi demokrasi
di Indonesia.
"Kita harus memastikan bahwa suara rakyat tidak
dimanipulasi," kata Marni, seorang ibu rumah tangga yang membawa serta dua
anaknya dalam aksi tersebut.
"Kalau tidak, apa gunanya kita berdemokrasi,"
tambahnya.
Budaya Minangkabau dan
Semangat Perlawanan
Sumatera Barat, dengan akar budaya Minangkabau yang kental,
memiliki sejarah panjang dalam perjuangan melawan ketidakadilan. Semangat ini
kembali mencuat dalam aksi "Kawal Putusan MK dan Batalkan Revisi UU Pilkada."
Masa aksi membentangkan propganda bertulis "nyenengin satu keluarga yang susah satu negara" (foto: Sarah.Azmi/ PBHI Sumbar)
Bagi masyarakat Minangkabau, keadilan dan musyawarah adalah
prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat. Mereka melihat perlawanan ini
sebagai bagian dari tradisi menjaga marwah dan martabat.
"Prinsip 'musyawarah’ mengajarkan kita bahwa keadilan
harus ditegakkan di atas segalanya," kata Dwi Setiawan, mahasiswa ISI
Padang Panjang yang turut berorasi di Padang.
"Kita tidak boleh diam saat melihat kebenaran
dipertaruhkan," sambungnya.
Harapan di Tengah
Kegelapan
Meski sarat dengan kekhawatiran, aksi ini juga menyimpan
secercah harapan. Harapan bahwa suara rakyat yang bergema dari Sumatera Barat
hingga Jakarta akan mendorong DPR dan pemerintah untuk bertindak adil dan
mengutamakan suara rakyat. Harapan bahwa demokrasi, meskipun menghadapi
tantangan besar, akan tetap bertahan dan bahkan semakin kuat.
"Ini bukan hanya tentang MK yang dianulir atau Revisi UU
Pilkada, ini tentang masa depan demokrasi kita," ujar Sarah Azmi, dari
Koalisi Masyarakat Sipil yang ikut turun ke jalan.
"Kita tidak bisa membiarkan demokrasi kita hancur begitu
saja. Aksi ini menunjukkan bahwa negara ini milik seluruh masyarakat Indonesia
bukan hanya milik keluarga, sebagaimana mandate Konstitusi kedaulatan ada
ditangan rakyat, bukan ditangan rezim."
Hingga malam tiba, massa masih bertahan, tidak mau pulang
sebelum memastikan Presiden tidak akan mengeluarkan Perpu guna melanggengkan
kekuatan politik dinastinya yang telah dibangun selama kurang lebih 2 periode
terakhir.
Bagi masyarakat Sumatera Barat, aksi ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang untuk tetap menghidupkan demokrasi di negeri ini. Aksi ini akan terus berlanjut hingga penutupan pendaftaran calon kepala daerah berakhir dan hingga kedaulatan kembali ke tangan rakyat. (sarah-pbhi)