Sejumlah aparat memukul  pengunjuk rasa yang masuk ke kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2208). Aksi tersebut sebagai penolakan terhadap revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi 

 

SANCAnews.id – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menerima sedikitnya 51 pengaduan terkait praktik kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam penanganan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU Pilkada di depan Gedung DPR, Kamis (22/08). Polda Metro Jaya mengklaim telah menangkap lebih dari 300 pendemo.

 

Menurut tim yang digagas sejumlah lembaga bantuan hukum, puluhan aduan itu dihimpun dengan cara melakukan advokasi langsung, pendampingan di Polda Metro Jaya, serta pemantauan kantor-kantor polisi khususnya di Jakarta Barat dan Polsek Tanjung Duren.

 

"Kami juga mendesak polisi segera membebaskan teman-teman yang tidak bersalah yang ditangkap tanpa alasan," ujar Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/08).

 

Salah satu keluarga demonstran yang diduga ditangkap polisi mengeklaim saat mendatangi Polda Metro Jaya untuk menemui kerabatnya, dia sempat dihalang-halangi oleh polisi. Polisi juga tidak memberikan informasi apa-apa saat ditanya mengenai kerabatnya.

 

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengeklaim pihaknya telah menangkap 301 peserta aksi demonstrasi sehari sebelumnya. Mereka diduga mengganggu ketertiban, beberapa di antaranya diduga melakukan perusakan hingga menyerang petugas.


Artikel-artikel yang direkomendasikan:

'Ada luka lebam di sekitar mata, seperti bonyok'

Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen adalah salah satu pengunjuk rasa yang ditangkap polisi saat mengikuti demonstrasi di komplek gedung DPR pada Kamis (22/08). Dia akhirnya dibebaskan pada Jumat (23/08) pukul 18.00 WIB.

 

Kakak kandung Delpodro, Delpiero Hegelian, mengaku sempat panik lantaran tidak mengetahui keberadaannya sejak Kamis (22/08) pukul 17.00 WIB. Dia menuturkan keluarga semula menduga sang adik ditangkap polisi.

 

Kekhawatiran itu akhirnya terjawab, karena sekitar pukul 21.00 WIB seorang pendamping hukum mengabarkan jika Delpedro telah berada di Polda Metro Jaya.

 

Begitu mengetahui sang adik ditahan, ia langsung mendatangi kantor Polda Metro Jaya namun yang terjadi dirinya malah dihalang-halangi. Bahkan, klaimnya, polisi tidak memberikan informasi apa-apa saat ditanya mengenai informasi adiknya tersebut.

 

"Pada saat saya dan kawan saya sampai di Polda Metro Jaya sebenarnya ada sedikit halangan dari aparat di pintu masuk. Saya akhirnya masuk sendirian. Ketika di dalam pun, saya masih kebingungan karena keberadaan Pedro belum jelas," ungkap Delpedro saat diwawancarai pada Jumat (25/08).

 

"Dia masuk [ke taman DPR] tujuannya untuk mengobservasi, meneliti karena terkait dengan pekerjaannya di Lokataru. Cuma ketika ada peringatan [polisi] untuk mundur, dia itu keburu ditangkap. Jadi dia tidak sempat untuk mundur," bebernya.

 

Delpiero meyakini adiknya tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum di sana. Itu mengapa dia sangat mengecam penangkapan sang adik karena polisi dianggap telah bertindak represif.

 

"Saya amat sangat mengecam karena tidak layak dan tidak etis, juga tidak beradab untuk dilakukan karena demonstrasi dijamin oleh konstitusi dan undang-undang," ungkapnya sembari berharap Delpedro bisa dibebaskan bersama dengan peserta demo lainnya.

 

Merujuk pada informasi pendamping hukum yang menemui sang adik, kondisinya menyedihkan. Ia mengalami luka lebam di sekitar mata. Kendati dia mengaku tak tahu pasti apa penyebabkan, apakah terkena pukulan atau hantaman benda tumpul.

 

"Berdasarkan informasi yang saya terima, ketika Pedro ditangkap ada luka lebam di sekitar mata, seperti bonyok."


"Sampai pada akhirnya jam 23.55 WIB atau sekitar tengah malam, baru dapat kabar Pedro itu sudah ada di dalam [Polda Metro Jaya]. Saat saya mau masuk pun tidak bisa, hanya pendamping hukum. Tetapi pendamping hukum juga dihalangi petugas untuk melakukan pendampingan."

 

Delpedro diduga ditangkap saat menjalani tugasnya sebagai Direktur LSM Lokataru yakni sedang mengobservasi dan meneliti keputusan Badan Legislasi DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas suara partai politik dan gabungan partai politik dalam pencalonan kepala daerah. Termasuk ambang batas usia calon kepala daerah.

 

Sang adik, sambungnya, pada Kamis itu berada di area taman DPR ketika diduga ditangkap polisi. Ia bisa masuk dengan melompati pagar yang berhasil dirobohkan para pengunjuk rasa.

 

Saat itu, menurut keterangan adik bungsunya tersebut, polisi sempat memerintahkan massa untuk mundur. Tapi sebelum Delpedro keluar, aparat keburu menangkapnya. Padahal situasi diklaim masih tertib. 

M Fatah Akrom, mahasiswa UIN Salatiga, dirawat di sebuah rumah sakit setelah menjadi korban kekerasan aparat usai demonstrasi di Semarang, Kamis (22/08) 


Sementara itu di Semarang, Jawa Tengah, dua demonstran menjadi korban gas air mata usai kericuhan yang terjadi pascaunjuk rasa di kantor DPRD Jawa Tengah, Kamis kemarin. Menurut perhitungan sejumlah pihak, setidaknya terdapat 18 pengunjuk rasa yang dilarikan ke beberapa rumah sakit di Semarang.

 

Seorang mahasiswa Universitas Diponegoro bernama Dimas Afila terluka karena selongsong peluru gas air mata terbang mengenai batang hidungnya.

 

"Awalnya saya berada di barisan tengah, ketika massa aksi sudah mau masuk. Lalu karena saya merasa cukup lelah saya ke belakang massa untuk minum," ujarnya.

 

"Lalu saya mau masuk lagi ke barisan awal, ternyata massa aksi sudah kaos. Waktu itu sudah ada semprotan water cannon. Belum sempat melihat apa-apa, tiba-tiba selongsong gas air mata mendarat di batang hidung saya," tuturnya.

 

Ketika terkena selongsong itu, Dimas berada di sisi kanan Jalan Menteri Supeno, dekat gerbang DPRD Jateng yang dirobohkan.

 

"Saya langsung lari ke Taman Indonesia Kaya Kota Semarang. Namun karena situasi masih kaos, saya lari ke SMA 1," kata Dimas.

 

Saat di depan sekolah itu, dirinya sempat mendapat penanganan dari tim medis. Namun karena darah masih bercucuran, Dimas dilarikan teman-temannya ke kompleks Magister Undip, untuk menerima pertolongan medis lebih lanjut.

 

"Saat bergeser ke situ, ternyata aparat kepolisian masih mengejar dan menembakan beberapa kali gas air mata," ujarnya.

 

Sekitar pukul 14.00 WIB, saat Dimas dan kawan-kawannya merasa situasi sudah mulai tenang, barulah mereka menuju Rrumah Sakit Roemani.

 

"Saya dapat dua jahitan karena mengalami robek di bagian batang hidung," ucapnya.

 

Tak hanya Dimas, seorang anggota Pers Mahasiswa dari Kampus UIN Salatiga, bernama Muhammad Fatah Akrom, berkata juga menjadi korban gas air mata yang ditembakan aparat kepolisian. Dia bahkan sempat pingsan akibat gas air mata itu.

 

"Waktu itu saya tidak ingat jamnya, karena situasi benar caos. Awal letupan gas air mata pertama itu saya masih berada kerumunan massa aksi. Letupannya didekat saya, karena saking banyaknya orang dan desak-desakan sehingga saya mulai lunglai," ujarnya.

 

Tak lama setelah itu, muncul lagi beberapa kali tembakan gas air mata di dekatnya. Akibatnya, dia jatuh pingsan.

 

"Saya posisi sudah dipinggir, tapi ternyata arah angin ke saya. Kondisi saya lemas, terus terjatuh di situ (trotoar Jalan Menteri Supeno)," ucapnya.

 

Fatah digotong dua orang temannya. Mereka membawa Fatah untuk mendekat ke ambulans agar mendapatkan oksigen.

 

"Namun karena tak kunjung dapat bantuan medis, saya dibawa ke pelataran taman Indonesia Kaya yang menjadi titik berkumpulnya para korban," ucapnya.

 

Nahasnya, tembakan gas air mata saaat itu masih terus ditembakkan aparat, bahkan mengarah ke lokasi gawat darurat untuk para korban di Taman Indonesia Kaya.

 

"Saat tengah dalam perawatan disitu (Taman Indonesia Kaya), teman saya menyaksikan kembali terjadi penembakan gas air mata tepat dilokasi saya dirawat," katanya.

 

Karena tembakan gas air mata tersebut, Fatah sempat ditinggalkan temannya yang tunggang langgang menghindari efek gas air mata.

 

"Sadar-sadar saya sudah di RS Roemani, saya kira sudah malam, ternyata saat itu baru pukul 15:00 WIB," ucapnya.

 

"Saya dehidrasi, tenggorokan kering dan kepala langsung pusing. Waktu itu mungkin karena kelelahan begadang semalaman dan capek karena usai menempuh perjalanan dari Salatiga," ujarnya.

Seorang mahasiswa meletakkan bunga pada barikade polisi yang menjaga aksi unjuk rasa di Gerbang Pancasila, kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024) 


'Kami diadang dan diteriaki'

Pengacara publik dari LBH Jakarta, Muhammad Fadhil dan Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, mengatakan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) setidaknya menemukan apa yang disebutnya sebagai tindakan brutal aparat polisi dalam pengamanan aksi demonstrasi penolakan RUU Pilkada, pada Kamis (22/08).

 

Tindakan itu di antaranya penembakan gas air mata secara tidak terukur ke berbagai arah, dugaan penggunaan tongkat sebagai oleh satuan Brimob, dugaan pemukulan dan penangkapan sewenang-wenang, termasuk penggeledahan tak sesuai prosedur serta represi terhadap kebebasan pers.

 

"Penembakan gas air mata secara brutal di lapangan dan itu dilakukan secara tidak terukur karena menembak ke berbagai arah. Akibatnya tidak hanya membahayakan massa, tapi warga sipil yang tidak ikut aksi," ungkap Andrie.

 

"Ada pula penggeledahan handphone yang semestinya dilakukan atas izin pengadilan serta dugaan pelanggaran terkait proses hukum terhadap anak yang tidak memenuhi sistem peradilan anak," jelasnya.

 

Buntut dari tindakan kekerasan polisi tersebut, Polda Metro Jaya disebut setidaknya menahan puluhan orang yang diduga peserta demonstrasi berdasarkan pemantauan lapangan.

 

Fadhil mengatakan pihaknya menerima kabar soal akan adanya peserta aksi demo yang akan diserahkan ke Polda Metro Jaya untuk diproses hukum lebih lanjut pada Kamis (20/08) pukul 20.00 WIB.

 

Malam itu juga, Tim TAUD langsung menyambangi Polda Metro Jaya untuk memberikan bantuan hukum.

 

"Itu kewajiban kami sebagai pendamping hukum," ujar Fadhil dalam konferensi pers di Jakarta.

 

"Itu juga merupakan hak bagi siapa pun bagi yang berhadapan dengan proses peradilan pidana," sambungnya.

 

Fadhil mengeklaim, ketika sedang menjalankan tugas, pihak Polda Metro Jaya melakukan tindakan-tindakan pelecehan terhadap marwah profesi, yakni menghalang-halangi kerja profesional advokat.

 

Tindakan-tindakan itu antara lain mengadang, meneriaki, dan memberikan argumentasi tidak logis.

 

"Argumentasi itu adalah kami tidak memiliki kedudukan hukum untuk mendampingi para massa aksi yang dibawa, intinya tidak ada teken surat kuasa."

 

Padahal menurutnya, kedudukan hukum seorang advokat tidak hanya ditentukan oleh surat tertulis, akan tetapi "kuasa secara lisan" juga memiliki kekuatan hukum yang kuat.

 

Dan yang lebih mengherankan, katanya, tindakan menghalang-halangi upaya bantuan hukum oleh polisi disandarkan pada dalih "belum adanya arahan dari atasan".

 

Perdebatan seperti ini, lanjutnya, terjadi sebanyak lima kali.

 

"Bagi kami enggak masuk akal."

 

Dengan akses yang masih terbatas tersebut, Fadhil mengatakan hingga saat ini pihaknya baru bisa mendampingi 40 orang demonstran yang masih berada di Polda Metro Jaya.

 

Tapi, seperti apa kedudukan hukum mereka apakah sebagai saksi atau tersangka masih tidak jelas, ungkapnya.

 

Ini karena proses pemeriksaan dituangkan dalam secarik kertas yang berjudul "berita acara interogasi"—yang tak dikenal dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

'Kami menemukan ruang penahanan sementara di dalam kompleks DPR'

Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, mengeklaim berdasarkan penelusuran mereka di lapangan dan mendengarkan pengakuan seorang korban kekerasan polisi yang masih ditahan di Polda Metro Jaya, terdapat apa yang disebutnya sebagai ruang penahanan sementara di dalam kompleks DPR.

 

Di ruang penahanan sementara itu, klaim Andrie, peserta demonstrasi yang ditangkap dipukuli habis-habisan sampai berdarah hingga akhirnya diboyong ke Polda Metro Jaya.

 

Andrie Yunus menceritakan pengakuan seorang korban yang tak disebutkan namanya, yang bersaksi bahwa ketika tembakan gas air mata berlangsung di sekitar halaman depan gedung DPR pada Kamis (22/08) malam, dia sebetulnya hendak lari demi menyelamatkan diri. Namun sial, korban tertangkap polisi dan jatuh tersungkur. 


Korban lantas dipukuli oleh sekitar 15 orang polisi di bagian kepala, kemudian ditendang, sampai dipaksa mengakui bahwa dia melakukan pelemparan batu dan melakukan perobohan terhadap gedung DPR.

 

"Yang mana pemaksaan pengakuan dengan penyiksaan... tuduhan-tuduhan itu tidak pernah dilakukan oleh korban," ucapnya.

 

"Selain itu ketika korban ditangkap di halaman depan DPR dan dibawa ke posko di area DPR, dia dioper lagi ke kantor-kantor polisi lain," sambungnya.

 

"Selama satu titik posko menurut korban mengalami tindakan kekerasan seperti dipukul dan ditendang."

 

Pengakuan korban itu, kata Andrie, oleh tim TAUD lantas ditelusuri ke lapangan.

 

Tim mengecek langsung ke salah satu ruangan di dalam kompleks DPR yang diklaim "dijadikan tempat penahanan sementara sebelum dilimpahkan ke Polda Metro Jaya".

 

Di ruang tersebut, ungkapnya, banyak terdapat ceceran darah yang baginya kian menguatkan apa yang disebut sebagai brutalitas kepolisian sejak penangkapan di area sekitar gedung DPR.

 

Selain kekerasan fisik, tim TAUD juga meyakini terjadi kekerasan psikis dan verbal.

 

Polisi: 301 orang yang diamankan'

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengeklaim 301 peserta aksi demonstrasi telah diamankan oleh kepolisian.

 

Mereka yang ditangkap terdiri dari 50 orang diamankan oleh Polda Metro Jaya, 143 orang diamankan oleh Polres Metro Jakarta Timur, 3 orang oleh Polres Jakarta Pusat dan 105 orang oleh Polres Metro Jakarta Barat.

 

"Dari proses pengamanan ada 301 orang yang telah diamankan oleh jajaran Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, Polres Jakarta Timur, dan beberapa Polsek dan Polres Jakarta Barat,” ungkap Ade kepada wartawan di kantor Polda Metro Jaya, Jumat (23/08).

 

Ade mengungkapkan mereka yang ditangkap termasuk di antaranya yang membakar mobil patroli polisi di Pejompongan, Jakarta Pusat.

 

Ade mengatakan mereka yang ditangkap diduga mengganggu ketertiban. Beberapa di antara mereka juga melakukan perusakan hingga menyerang petugas.

 

"Orang-orang yang diamankan ini diduga mengganggu ketertiban, diduga merusak, diduga tidak mengindahkan peringatan petugas kami di lapangan, ada juga yang diduga melakukan kekerasan terhadap petugas," ujarnya.

 

Beberapa orang yang ditangkap di antaranya sudah dipulangkan dan beberapa orang lainnya masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

 

"Jadi untuk yang di Jakarta Barat semuanya sudah selesai. Di Polda itu tujuh yang sudah dipulangkan, enak anak dan satup perempuan. Sebanyak 43 masih dilakukan pedalaman. Di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat masih dilakukan pendalaman," ungkap dia. (bbc)


Label:

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.