Ahmad Farisi dan A. Fahrur Rozi selaku pemohon menyampaikan pokok permasalahannya pada sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, Jumat (5/7)/Ist
SANCAnews.id – Dua warga negara yakni Ahmad
Farisi yang berprofesi sebagai peneliti bersama A. Fahrur Rozi yang merupakan
mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengajukan
permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka memohonkan pengujian Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
Sidang Perkara Nomor 52/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh
Wakil MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh
dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Jumat
(5/7).
Para Pemohon menyebut berhak atas penyelenggaraan Pilkada
yang jujur, demokratis, berkepastian secara hukum serta bebas dari adanya
konflik kepentingan. Namun pasal yang diujikan membuka pintu monopoli kekuasaan
dan praktik nepotisme oleh kepala daerah aktif dan pajabat negara lainnya.
Untuk itu, para Pemohon memohonkan agar Mahkamah mewajibkan
kepala daerah dan pejabat negara lainnya cuti dari jabatannya selama waktu
kampanye.
“Pada intinya pasal a quo tidak memberikan limitasi akses
kekuasaan dan penggunaan perangkat kenegaraan bagi pejabat negara dimaksud
ketika melakukan kampanye politik," jelas Farisi yang hadir langsung di
Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
"Hal tersebut sangat memungkinkan membuka adanya
monopoli wewenang dan instrumen kekuasaan untuk kepentingan calon tertentu yang
menyebabkan pelaksanaan Pilkada tidak menjadi fair, demokratis, dan bebas dari
segala bentuk praktik kolusi dan nepotisme,” sambungnya.
Selain itu, menurut para Pemohon, pasal tersebut menyebabkan
ketiadaan batasan yang mengatur secara rigid instrumen kekuasaan dan perangkat
kenegaraan yang senantiasa melekat dalam pejabat negara. Sehingga membuka ruang
besar bagi monopoli keterpilihan elektoral melalui perangkat dan instrumen
kekuasaan oleh pejabat negara.
Di samping itu, tidak adanya ketentuan yang melarang Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota,
Pejabat Daerah, serta pejabat lainnya melakukan kampanye yang memiliki hubungan
keluarga/semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun
telah bercerai dengan peserta Pilkada juga sangat memungkinkan bagi terjadinya
praktik nepotisme dalam Pilkada.
Dengan demikian, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk
menyatakan Pasal 70 ayat (2) menjadi berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara lainnya,
serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan: a. tidak menggunakan fasilitas
jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur
dalam ketentuan perundang-undangan; b. menjalani cuti di luar tanggungan
negara; dan c. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan
pasangan calon serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang dan hak jabatan masing-masing.” (rmol)