Keluarga korban Boeing hingga kini masih menuntut keadilan
SANCAnews.id – Perusahaan Boeing mengaku bersalah
atas tuduhan konspirasi penipuan kriminal setelah Amerika Serikat menemukan
bahwa Boeing melanggar kesepakatan yang bertujuan untuk mereformasi pembuat
pesawat tersebut menyusul dua kecelakaan fatal yang menewaskan 346 penumpang
dan awak kabin.
Departemen Kehakiman AS menyatakan Boeing setuju untuk
membayar denda pidana sebesar US$243,6 juta (sekitar Rp 3,97 triliun). Namun,
keluarga korban kecelakaan Lion Air dan Ethiopian Airlines mengkritik
perjanjian ini sebagai 'kesepakatan manis' yang memungkinkan Boeing menghindari
tanggung jawab penuh atas kedua insiden tersebut.
Boeing telah menghadapi krisis kepercayaan publik terkait
catatan keselamatan mereka sejak dua kecelakaan yang melibatkan pesawat 737 Max
pada tahun 2018 dan 2019. Kedua kecelakaan tersebut menyebabkan penghentian
operasional global pesawat 737 Max selama lebih dari satu tahun.
Pesawat Boeing 737 Max yang dioperasikan oleh Lion Air jatuh
di perairan Karawang, Jawa Barat, pada akhir Oktober 2018 tak lama setelah
lepas landas, menewaskan semua 189 orang di dalamnya.
Beberapa bulan kemudian, pesawat Ethiopian Airlines jatuh,
menewaskan semua 157 penumpang dan awak kabin.
Perwakilan keluarga
korban kecelakaan Lion Air JT610: ‘Peristiwa tersebut masih membekas’
Anton Sahadi, perwakilan keluarga dari dua korban kecelakaan
pesawat Lion Air JT610 bernama Ryan Aryandi dan Ravi Andrian mengatakan kepada
BBC News Indonesia bahwa Boeing jelas mengakui kesalahan dan terlibat dalam
dugaan pemalsuan data.
“[Pemalsuan data ini] untuk memuluskan rencana mereka
sehingga jenis pesawat Boeing 737 Max8 berhasil mereka jual atau pasarkan,”
jelasnya.
Departemen Kehakiman AS, menurut Anton, sudah memberi celah
agar Boeing terbebaskan dari segala tuntutan sehingga perusahaan cukup minta
maaf dan mengakui kesalahan.
“Seharusnya Boeing itu harus dikasih sanksi pidana karena ini
adalah kejahatan serius yang mengakibatkan tewasnya 189 korban,” ujarnya.
“Saya merasa ini sangat tidak adil jika hanya sanksi bagi
Boeing. Seharusnya semua yang terlibat dalam menyatakan bahwa pesawat itu layak
untuk dijual seharusnya dikenakan sanksi pidana.”
Anton mengemukakan hingga saat ini peristiwa kecelakaan
pesawat tahun 2018 tersebut masih membekas. Dia mengatakan bisa saja apabila
peristiwa ini berulang maka Boeing akan melakukan hal yang serupa: cukup minta
maaf dan bebas dari segala tuntutan pidana.
“Ini membuktikan bahwa Amerika sedang dalam ambang kehancuran
karena mereka, baik itu Boeing dan pemerintah atau Departemen Kehakiman sudah
melakukan atau mengabaikan nyawa banyak orang yg tewas dalam dua tragedi
kecelakaan tersebut.”
Pada tahun 2021, jaksa penuntut menuduh Boeing melakukan
konspirasi untuk menipu Federal Aviation Administration/Otoritas Penerbangan
Federal AS (FAA) selaku regulator terkait sistem kontrol penerbangan MCAS yang
diduga menjadi faktor dalam kedua kecelakaan tersebut.
Saat itu, disepakati bahwa Boeing tidak akan dituntut secara
pidana jika mereka membayar denda dan berhasil menyelesaikan periode
peningkatan pengawasan dan pelaporan selama tiga tahun.
Namun, pada bulan Januari, sesaat sebelum periode tersebut
berakhir, panel pintu pada pesawat Boeing yang dioperasikan Alaska Airlines
copot tak lama setelah lepas landas sehingga pesawat tersebut harus mendarat darurat.
Meskipun tidak ada yang terluka dalam insiden tersebut, hal
ini semakin menyoroti kurangnya kemajuan yang dibuat Boeing dalam meningkatkan
catatan keselamatan dan kualitas mereka.
'Kesepakatan manis yang
tidak adil'
Pada bulan Mei, Departemen Kehakiman AS menyatakan bahwa
Boeing telah melanggar persyaratan kesepakatan, sehingga membuka kemungkinan
penuntutan pidana.
Keputusan Boeing untuk mengaku bersalah tetap menjadi catatan
hitam yang signifikan bagi perusahaan tersebut karena ini berarti kontraktor
militer terkemuka untuk pemerintah AS tersebut sekarang memiliki catatan
kriminal. Boeing juga merupakan salah satu dari dua produsen pesawat jet
komersial terbesar di dunia.
Belum jelas bagaimana catatan kriminal tersebut akan
mempengaruhi bisnis kontrak Boeing. Pemerintah biasanya melarang atau
menangguhkan perusahaan dengan catatan kriminal untuk mengikuti tender, tetapi
bisa saja ada pengecualian.
Keluarga korban dari kecelakaan penerbangan 2018 dan 2019 pun
mengecam kesepakatan ini sebagai ‘kesepakatan manis’ yang tidak adil.
Paul Cassell, seorang pengacara yang mewakili beberapa
keluarga korban, mengatakan, “Kesepakatan ini gagal mengakui bahwa akibat dari
konspirasi Boeing, 346 orang tewas. Melalui perjanjian hukum yang licik antara
Boeing dan Departemen Kehakiman AS, konsekuensi mematikan dari kejahatan Boeing
disembunyikan.”
Keluarga korban menaburkan bunga di lokasi yang disebut lokasi jatuhnya pesawat Lion Air di Laut Tanjung Karawang, Jabar, yang menyebabkan 189 orang penumpangnya meninggal dunia
Dia meminta hakim yang menilai kesepakatan tersebut untuk ‘menolak
pembelaan yang tidak pantas ini dan langsung menetapkan persidangan terbuka,
sehingga semua fakta seputar kasus ini akan diungkapkan di forum yang adil dan
terbuka di hadapan juri.’
Dalam sebuah surat kepada pemerintah pada bulan Juni, Cassell
mendesak Departemen Kehakiman AS untuk mendenda Boeing lebih dari US$24 miliar
(Rp391,2 triliun).
Zipporah Kuria yang kehilangan ayahnya, Joseph, dalam salah
satu kecelakaan fatal tersebut mengatakan bahwa pembelaan itu adalah
"kekejian yang mengerikan."
"Kekeliruan keadilan adalah pernyataan yang meremehkan
untuk menggambarkan hal ini,’ katanya. ‘Saya berharap, jika hal ini terjadi
lagi, Departemen Kehakiman AS diingatkan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk
melakukan sesuatu yang berarti dan malah memilih untuk tidak
melakukannya."
Ed Pierson, direktur eksekutif Foundation for Aviation Safety
(Yayasan Keamanan Penerbangan) dan mantan manajer senior di Boeing, mengatakan
pembelaan itu "sangat mengecewakan" dan "kesepakatan yang buruk
untuk keadilan."
"Alih-alih meminta pertanggungjawaban individu, mereka pada dasarnya hanya memberi mereka jalan keluar gratis."
Keluarga korban tak kuasa menahan tangis saat tiba di bandara Sukarno-Hatta setelah pesawat Lion Air JT 610 jatuh pada 2018.
Dalam kesepakatan 2021 tersebut, Boeing juga setuju untuk
membayar US$2,5 miliar (Rp40,7 triliun) untuk menyelesaikan masalah tersebut,
termasuk denda pidana $243 juta (Rp3,9 triliun) dan US$500 juta (Rp8,1 triliun)
untuk santunan korban.
Kesepakatan itu membuat marah anggota keluarga korban yang
tidak diajak berkonsultasi mengenai persyaratannya dan telah meminta perusahaan
untuk diadili.
Staf senior di Departemen Kehakiman AS merekomendasikan
penuntutan, seperti yang dilaporkan CBS News, mitra berita AS BBC, pada akhir
Juni.
Pada sidang di bulan Juni, Senator Richard Blumenthal
mengatakan dia yakin ada "banyak bukti" bahwa penuntutan harus
dilakukan.
Pengacara keluarga korban mengatakan Departemen Kehakiman AS
khawatir mereka tidak memiliki kasus yang kuat terhadap perusahaan tersebut.
Mark Forkner, mantan pilot teknis Boeing yang merupakan
satu-satunya orang yang menghadapi tuntutan pidana terkait insiden tersebut,
dibebaskan oleh juri pada tahun 2022. Pengacaranya berpendapat bahwa dia
dijadikan kambing hitam.
Mark Cohen, profesor emeritus di Universitas Vanderbilt, yang
telah mempelajari hukuman terhadap perusahaan, mengatakan jaksa penuntut sering
kali lebih memilih kesepakatan pembelaan atau penundaan penuntutan, yang
memungkinkan mereka untuk menghindari risiko persidangan dan dapat memberi
pemerintah kekuasaan lebih besar atas perusahaan daripada hukuman biasa.
“Karena lebih mudah dibandingkan ke pengadilan. Ini
meringankan beban jaksa penuntut. Namun, jaksa penuntut bisa jadi juga percaya
ini sanksi yang lebih baik [karena] mereka mungkin dapat menerapkan persyaratan
yang biasanya tidak ada dalam pedoman hukuman,” ujarnya.
Dia mengatakan tidak ada keraguan bahwa status Boeing sebagai
kontraktor utama pemerintah AS berperan dalam menentukan bagaimana kelanjutan
proses.
“Mereka harus memikirkan konsekuensi kolateral,” katanya. “Kasus seperti ini tidak bisa dianggap enteng.” Masalah dengan MCAS bukan pertama kalinya Boeing berurusan dengan hukum.
Boeing juga telah membayar denda jutaan dolar kepada Federal
Aviation Administration sejak 2015 untuk menyelesaikan serangkaian klaim
tentang manufaktur yang tidak tepat dan masalah lainnya.
Boeing terus menghadapi penyelidikan dan tuntutan hukum yang dipicu oleh insiden pada penerbangan Alaska Airlines di bulan Januari. (bbc)