Ilustrasi - Aksi solidaritas jurnalis pada Hari Kebebasan Pers Sedunia. 
 

SANCAnews.id – Sejumlah organisasi pers di Provinsi Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) dengan tegas menolak revisi RUU Penyiaran yang sedang dibahas DPR RI.

 

Mereka menilai RUU tersebut memuat sejumlah pasal kontroversial yang berpotensi mengekang kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan menghambat proses demokrasi.

 

"Ini sangat kacau jika disahkan. Lembaga penyiaran akan menjadi alat bagi legislatif untuk menekan jurnalis. Ini ancaman bagi demokrasi dan kemerdekaan pers," tegas Ketua Pengda Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel Andi Mohammad Sardi di Makassar, Senin (20/5), dikutip dari ANTARA.

 

Menurut Sardi, beberapa pasal yang dianggap merugikan termasuk Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif liputan investigasi, serta Pasal 50B ayat (2) huruf k, Pasal 8A ayat (1) huruf q, dan Pasal 51E.

 

Ia menyoroti bahwa Pasal 8A ayat (1) huruf q memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kewenangan untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran, meskipun sesuai Undang-Undang Pers, sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

 

Ketua Pengda Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel, Syafril Rahmat, juga menolak revisi RUU Penyiaran tersebut. Ia menekankan bahwa larangan terhadap liputan investigasi akan menghambat fungsi kontrol jurnalis terhadap pemerintah dan swasta.

 

"Liputan investigasi adalah elemen penting bagi jurnalis untuk menjalankan fungsi kontrol. Pasca reformasi, pers menjadi salah satu pilar demokrasi yang memberikan kemerdekaan pers tanpa sensor. Jika RUU ini disahkan, kebenaran akan dibungkam," ujarnya.

 

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mandar, Sulawesi Barat, Rahmat FA, turut mengkritisi revisi RUU Penyiaran yang mengandung pasal-pasal yang dapat mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Dia menyoroti khususnya Pasal 50B ayat (2) poin c yang melarang media menayangkan konten eksklusif jurnalisme investigasi dan Pasal 8A poin q terkait sengketa jurnalistik.

 

AJI Indonesia telah mengingatkan agar DPR menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan RUU Penyiaran. Namun, dalam draft RUU Penyiaran, UU Pers tidak dicantumkan dalam konsideran.

 

"Tidak ada dasar yang jelas bagi DPR melarang media menayangkan atau menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Hal ini juga akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers," jelas Rahmat.

 

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menegaskan bahwa larangan menyiarkan liputan investigasi dan eksklusif bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

"Ada elemen yang berbahaya terhadap kebebasan pers. Kami belum tahu siapa yang memasukkan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers," kata Yadi.

 

Ia juga menambahkan bahwa upaya merenggut kemerdekaan pers sudah berlangsung sejak 2007 dan terus berlanjut hingga RUU KUHP tahun 2024, dengan Dewan Pers sudah mengantongi data terkait intervensi terhadap kemerdekaan pers yang terus terjadi. (fajar).


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.