Acara memperingati 26 tahun reformasi di Markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (21/5). Dokumentasi Front Penyelamat Reformasi
SANCAnews.id – Aktivis 98 pentolan Forum
Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) Ubedillah Badrun memberikan rapor
merah terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu disampaikan Ubedillah dalam instalasi memperingati
HUT Reformasi ke-26 sekaligus preview pelanggaran HAM masa Orde Baru di Markas
Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Jl. Diponegoro No.72 Menteng, Jakarta
Pusat, Selasa (21/5).
Ubedillah mengatakan, sejumlah faktor masih terjadi, mulai
dari menurunnya demokrasi, maraknya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), hingga
memburuknya hak asasi manusia (HAM).
"Ini faktanya sangat empiris. Korupsi, kolusi, dan
nepotisme menjadi begitu vulgar. Datanya kami bisa lihat bersama sama bahwa
indeks korupsi kita skornya hanya 34. Itu kalau rapor merahnya, merah
banget," kata dia.
Dalam acara ini, Ubedillah bertindak sebagai Ketua Panitia.
Pertujukan 2 ribu tengkorak dan seribu kuburan akan digelar selama tiga hari
mulai 21-23 Mei 2024.
Nantinya, akan ada diskusi bersama para aktivis, penggiat
HAM, hingga korban pelanggaran HAM.
Ubedillah menyampaikan pihaknya sengaja menggelar aksi
lantaran para aktivis yang dulu turun ke jalan merasa perlu turun kembali di
peringatan reformasi ke-26.
"Kami kemudian merefleksikan situasi itu dalam konteks
hari ini, karena pada saat itu kami punya cita-cita besar, kami punya mimpi
besar bahwa setelah 25 tahun itu sekarang masuk ke-26 kami bisa menikmati satu
demokrasi yang berkualitas. Tetapi hari ini demokrasi kita memburuk, bahkan
indeks demokrasi kita berada pada posisi yang oleh the economies disebut
sebagai "A Flawed Democracy" demokrasi yang cacat," kata
Ubedillah.
Menurutnya, demokrasi Indonesia saat ini pasca reformasi
semakin memburuk. Hal itu ditandai dengan indeks kebebasan sipil yang juga
skornya cuman 5,59.
"Nah, tidak hanya itu, kami juga dulu bercita-cita agar
bangsa ini setelah 25 tahun lebih itu memasuki episode yang praktek kekuasaan
dan pemerintahan menjalankan good governance dan clean government,"
ungkapnya.
Lalu, kata dia, yang menjadi persoalan yakni soal Hak Asasi
Manusia atau HAM yang korbannya memakan hampir di seluruh Indonesia dan
puncaknya terjadi di 1998.
"Kita ingin bangsa ini setelah 25 tahun dan sekarang
tahun ke-26, menghadirkan suatu pemerintahan yang menghargai manusia.
Menghargai rakyatnya. Faktanya hari ini indeks hak asasi manusia kita skornya
hanya 3,2. Ini sesuatu yang sangat memperihatinkan sebetulnya," ujarnya.
Terakhir dari sisi ekonomi, kata dia, Indonesia mengalami
stagnansi. Ditambah juga angka pengangguran yang meningkat, kemudian pendidikan
ditandai naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang naik juga menjadi masalah.
Untuk itu, dari semua masalah yang masih terjadi hingga saat
ini, pihaknya memberikan raport merah terhadap penyelesaian yang dilakukan
pemerintah.
"Angka penurunan ekonomi kita stagnan hanya 5 persen.
Angka kemiskinan bertambah bahkan gen Z ada 9,9 juta anak gen Z pengangguran.
Ini, kan, persoalan yang sangat serius. Di saat yang sama pengangguran yang
makin bertambah dan biaya pendidikan juga sekarang makin melonjak. Uang kuliah
tunggal hampir tidak bisa dikontrol oleh kekuasaan," ujarnya. (jpnn)