Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi jajaran Hakim Konstitusi menyimak keterangan dari tim kuasa hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di MK, Jakarta, Kamis (28/3/2024).
SANCAnews.id – Pengamat politik sekaligus
peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan
materi gugatan kubu 01 dan 03 ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah mendiskualifikasi
nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan meminta agar
melakukan pemungutan suara ulang karena hal tersebut bertentangan dengan
keinginan rakyat.
Menurutnya, gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi
(MK) itu tidak mempertimbangkan aspek psikologis dan melawan logika mayoritas
masyarakat yang telah menentukan pilihannya di Pilpres 2024.
“Memang kalau dilihat dari proses terlalu berlebihan, karena
kan proses itu sudah dilakukan bersama tetapi kan tuntutan seperti itu tetap
harus dihargai. Pendapat saya berlebihan, perlu juga mempertimbangkan tentang
psikologis publik, karena kan memahami psikologi publik itu bagian dari esensi
memahami hukum harus lebih cermat dan lebih masuk akal, mempertimbangkan
psikologi publik,” ujar Surokim, Rabu (3/4).
Surokim menambahkan aspek psikologis publik atau kebatinan
masyarakat yaitu baik saat musim kampanye maupun pasca pemilu masyarakat ingin
kehidupan tetap berjalan damai, tidak terjadi kegaduhan dan tetap rukun.
Dia mengatakan tuntutan dari mereka tidak linear dengan
keinginan publik yang besar tersebut.
“Situasi kebatinan masyarakat Indonesia saat ini, itu kan
istilahnya menginginkan kedamaian, ketidakgaduhan situasi yang adem, jadi saya
kira kalau ingin wise, bijak ya memperhatikan situasi kebatinan masyarakat
Indonesia, itu menjadi penting,” jelasnya.
Selain itu, Surokim mengatakan gugatan dari 01 dan 03 juga
dianggap berlawanan dengan logika mayoritas masyarakat.
Sebab Surokim meyakini, keputusan final MK selain berdasarkan
bukti-bukti yang dibawa ke persidangan akan mempertimbangkan suasana kebatinan
masyarakat juga logika publik.
“Saya kira pemahaman seperti itu akan kontraproduktif atau
perlawanan dengan logika-logika publik, karena termasuk MK pun pasti akan juga
mempertimbangkan situasi kebatinan masyarakat,” ucapnya.
Dikatakan Surokim, penyusunan tuntutan itu harus secara
komprehensif, tidak hanya sekedar berdasarkan pasal-pasal saja, tetapi juga
harus memahami konteks di lapangan masyarakat inginnya seperti apa.
Bagi Surokim, tidak bijak jika memaksakan kehendak untuk
berkuasa tetapi tidak mendapat dukungan dari masyarakat.
“Jadi saya lebih fokus melihat situasi itu agar memperhatikan
tuntutan itu memperhatikan situasi kebatinan masyarakat Indonesia. Situasi
kebatinan itulah yang akan menjadi kekuatan tidak hanya sekedar tafsir
pasal-pasal dan lain-lain karena kan konteks itu juga sebagai teks,” tuturnya.
Ditambah bukti-bukti yang sudah disampaikan oleh 01 dan 03 di
persidangan atas tuduhan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM),
Surokim menilai sulit bagi MK mengabulkan permintaan mereka.
“Memang agak sulit membuktikan TSM itu, saya kira bukti-bukti
yang sudah disampaikan di pengadilan itu agak sulit dikabulkan ke arah TSM, itu
sulit,” jelasnya.
Namun, Surokim meyakini MK akan memberikan keputusan
terbaiknya untuk semua, baik pemohon, termohon maupun terkait demi memperbaiki
demokrasi ke depan.
“Mahkamah Konstitusi pasti akan mempertimbangkan kepentingan
jangka panjang juga ya pasti akan ada misi untuk mengurangi supaya
pemilu-pemilu ini yang bersih tidak banyak pelanggaran. Jadi feeling saya MK
ingin juga kelihatan progresif di dalam keputusannya tetapi pasti tetap akan
mempertimbangkan situasi kebatinan yang masyarakat yang berkembang saat ini,”
urainya.
Sementara itu, Surokim juga memprediksi, MK berpeluang besar
menolak gugatan, selain karena
aspek-aspek bukti teknis yang lemah, psikologis publik juga menghendaki
hal tersebut.
“Jadi kalau ditanya tentang apakah dikabulkan atau tidak,
saya kira keputusan MK itu nanti bayangan saya itu tadi jadi dia tetap akan
memperhitungkan bagaimana meminimalisasi pelanggaran-pelanggaran sejenis
dilakukan di masa yang akan datang, tetapi tetap memperhatikan situasi
kebatinan masyarakat Indonesia. Jadi ya 60 banding 40 lah,” tukas Surokim.
(jawapos)