SANCAnews.id – Dewan Pers meminta seluruh
perguruan tinggi untuk mematuhi perjanjian kerja sama antara Dewan Pers dan
Kementerian Pendidikan Tinggi, Ristek dan Teknologi tentang Penguatan dan
Pelindungan Kegiatan Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan ini dinilai bisa menjadi landasan bagi pers mahasiswa untuk bekerja
lebih leluasa tanpa takut akan larangan atau intimidasi.
Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan aturan
ini menjadi pintu masuk untuk melindungi aktivitas pers mahasiswa yang rentan
terhadap intimidasi. Arif berharap setelah kesepakatan ini tidak ada lagi pers
mahasiswa yang terintimidasi dan dilarang atas hasil publikasi jurnalistiknya.
“Kalau ada kasus, mudah-mudahan kampus bisa mentaati
perjanjian kerja sama ini. Tidak boleh ada pembredelan,” kata Arif dalam
diskusi Perlindungan terhadap Pers Mahasiswa yang digelar Perhimpunan Pers
Mahasiswa Indonesia atau PPMI pada Sabtu, 27 April 2024.
Perjanjian kerja sama antara Dewan Pers dengan Kementerian
Pendidikan Tinggi tersebut diteken pada 18 Maret lalu. Dalam perjanjian itu,
Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli bertindak sebagai pihak kesatu
sedangkan Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Sri Suning Kusumawardani
sebagai pihak kedua.
Menurut Arif, perjanjian kerja sama itu memuat dua pokok yang
penting bagi aktivitas pers mahasiswa. “Pertama, peningkatan kompetensi. Kedua,
penyelesaian sengketa jurnalistik melalui Dewan Pers,” ujarnya.
Direktur PT Tempo Inti Media ini berharap kedua poin itu
berjalan beriringan untuk meminimalisasi munculnya sengketa jurnalistik yang
merugikan pers mahasiswa. “Pers mahasiswa mesti meningkatkan kapasitas,
pengetahuan etik, teknik liputan. Supaya tidak ada ruang yang bagi para pihak
yang keberatan dengan hasil liputan,” kata Arif.
Pada medio 2020-2021, PPMI mencatat telah terjadi 185
kekerasan dengan 12 jenis kasus yang dialami pers mahasiswa. Kasus tersebut
antara lain berupa 81 teguran, 24 upaya pencabutan berita, 23 makian, 20
ancaman, 11 pemaksaan meminta maaf, 11 pemotongan dana, 6 tuduhan tanpa bukti,
4 surat peringatan, 3 teror, 1 pemukulan, dan 1 pelarangan aktivitas jam malam.
Dari angka itu, birokrasi kampus menjadi pelaku kekerasan
paling dominan dengan 48 kasus. Pelaku lain beragam. Mulai dari mahasiswa,
pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa atau Dewan Perwakilan Mahasiswa, organisasi
eksternal kampus, organisasi masyarakat, hingga polisi dan anggota TNI.
Badan Pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota Tulungagung Noval
Kusuma berharap Dewan Pers bisa mengawal pelaksanaan perjanjian Penguatan dan
Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Dia juga berharap pers mahasiswa bisa lebih dilibatkan dalam perumusan strategi
perlindungan pers mahasiswa. “Supaya produk yang disepakati dapat diterapkan di
kampus seluruh Indonesia,” kata dia. (tempo)