SANCAnews.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) memenuhi panggilan Komisi Informasi Pusat (KIP) untuk menghadiri sidang sengketa informasi melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam persidangan, KPU menolak membuka sebagian besar permintaan informasi yang diminta ICW.
Sidang tersebut merupakan buntut dari pengabaian serius terhadap permintaan informasi yang dikirimkan ICW ke KPU pada 11 Juni 2023.
Informasi yang diminta antara lain laporan dana kampanye pemilu legislatif dan presiden periode 2014–2023, daftar tim kampanye seluruh pemilu 2014–2019, serta daftar riwayat hidup seluruh calon legislatif dan calon kepala daerah dalam rentang waktu 2014–2022.
Dalam sidang sengketa informasi tersebut, perwakilan KPU yang hadir menegaskan tidak akan memberikan informasi/dokumen terkait riwayat hidup dan sistem informasi dana kampanyenya.
"Mereka berdalih bahwa informasi-informasi tersebut bersifat dikecualikan dari akses publik. Majelis Komisioner sempat menegur pihak KPU karena pengecualian tersebut dilakukan tanpa uji konsekuensi terdahulu, sebagaimana diatur oleh UU Keterbukaan Informasi Publik," kata rilis ICW.
KPU menyatakan bahwa informasi mengenai laporan dana kampanye dan daftar tim kampanye merupakan informasi yang terbuka, oleh karena itu, proses sidang dilanjutkan dengan tahapan mediasi antara ICW dan KPU.
Akan tetapi, dalam proses tersebut KPU enggan membuka secara rinci informasi penyumbang dana kampanye yang tertera dalam Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).
Padahal, ICW telah menegaskan urgensi dibukanya informasi nama-nama penyumbang korporasi maupun individu kepada para kontestan Pemilu secara mendetail.
ICW menilai jika informasi tersebut dibuka, selain dapat memenuhi asas transparan dari UU Pemilu, informasi tersebut dapat membantu untuk melihat donatur maupun cukong politik yang selama ini menjadikan iklim demokrasi elektoral di Indonesia menjadi sangat transaksional dan penuh balas budi, bahkan tidak jarang berujung pada tindak pidana korupsi.
"Meski demikian, KPU justru bersikeras untuk menutupi informasi tersebut dengan kekhawatiran nama-nama individu tadi masuk ke dalam kategori data pribadi.
KPU justru membela para perusahaan dan individu-individu kaya penyumbang politik dengan menyatakan bahwa tidak akan ada yang mau untuk membuka data pribadi mereka ketika mereka berperan sebagai penyumbang politik,"
"Argumentasi KPU tersebut menunjukkan bahwa KPU gagal memahami permasalahan korupsi pemilu yang telah mengakar, yaitu sumbangan-sumbangan pihak tertentu yang mempengaruhi pengambilan kebijakan publik.
"Dalam memberikan sumbangan, acapkali pihak tersebut berharap akan mendapatkan imbalan ketika kandidat memenangkan kontestasi pemilu. Guna membalasnya, kandidat yang telah menduduki jabatan publik tersebut seringkali merampas sumber daya publik," tandasnya.
ICW berharap KPU tidak melindungi para cukong politik yang berpotensi mengarahkan kebijakan publik untuk kepentingan mereka. (wartaekonomi)