SANCAnews.id – Sebanyak 16 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menolak penggusuran paksa demi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Akademisi Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Herdiansyah Hamzah yang mewakili koalisi ini mengatakan, Badan Otorita IKN mengancam masyarakat lokal di kawasan IKN untuk mengambil alih tanah masyarakat atas nama pembangunan.
"Ancaman Badan Otorita IKN tersebut yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Desa Pemaluan dengan dalih pembangunan ibu kota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah," ujar Herdiansyah dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 13 Maret 2024.
Herdiansyah mengungkapkan Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN, mengancam warga melalui surat Surat Nomor 179/DPP/OIKN/III/2024. Surat itu dikirimkan kepada warga pada 4 Maret 2024 yang menyatakan adanya pelanggaran oleh warga atas pembangunan yang tidak berizin dan atau tidak Sesuai dengan tata ruang IKN.
Dalam surat tersebut, Badan Otorita IKN menyatakan bahwa Tim Gabungan Penertiban Bangunan Tidak Berizin telah melakukan identifikasi pada Oktober 2023. Hasilnya, terdapat ketidaksesuaian kondisi di lapangan dengan tata ruang yang diatur pada Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan (RDTR WP) IKN.
Dalam surat tersebut, Badan Otorita IKN mengundang warga dalam agenda Tindak Lanjut atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berizin dan Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN. Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN juga mengeluarkan Surat Teguran Pertama Nomor 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024.
Dalam surat itu, Badan Otorita IKN meminta kepada warga agar segera membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Tata Ruang IKN dan peraturan perundang-undangan. Pemerintah memberikan batas waktu kepada warga untuk meninggalkan wilayah tersebut dalam 7 hari.
Herdiansyah menilai cara yang dilakukan Badan Otorita IKN ini seperti rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalalkan segala cara. Menurut dia, penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah kepada warga Desa Pemaluan merupakan bentuk intimidasi yang menyebar teror dan ketakutan kepada warga.
Ia mengatakan pemerintah telah berupaya melakukan memaksa masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka. "Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya," ucapnya.
Langkah ini, kata Herdiansyah, merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Khususnya, pelanggaran atas hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan tanah, dan hak atas pemukiman warga.
Adapun Badan Otorita menjadikan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN sebagai dasar pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Menurut Herdiansyah, aturan ini pun merupakan produk hukum yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah.
Dengan demikian, ia menilai langkah pemerintah ini melanggar pasal 65 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Beleid ini mengamanatkan pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, Herdiansyah menilai tata ruang yang dibuat justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat. "Pemerintah lupa, jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN," ujarnya. (tempo)