SANCAnews.id – Sebaiknya Partai Nasdem menyatakan sikap tegas
keluar dari Pemerintahan Koalisi Joko Widodo (Jokowi). Bukannya memilih tetap
di Kabinet Indonesia Maju tapi Jokowi tak lagi mempertimbangkan keberadaannya.
Demikian disampaikan Direktur
Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin saat berbincang
dengan Kantor Berita Politik RMOL beberapa waktu lalu melalui sambungan
telepon, Kamis (18/5).
“Makanya jangan tanggung-tanggung
mestinya Nasdem memposisikan sebagai oposan atau oposisi saja. Cabut menterinya
dari Kabinet Jokowi semuanya, lalu berhadap-hadapan saja dengan Pemerintah,”
kata Ujang.
Menurut Dosen Universitas
Al-Azhar Indonesia ini, menjadi oposisi pemerintahan Jokowi pun sama mulianya
dengan menjadi koalisi pemerintah. Meskipun, itu akan memiliki konsekuensi
politik bagi partai besutan Surya Paloh itu.
“Kan menjadi partai oposisi sama
mulianya juga dengan partai pemerintah. Bedanya, partai koalisi pemerintah
banyak previlege dilindungi, dijaga dalam konteks hukum, ekonomi, politik.
Kalau oposisi itu di luar kekuasaan. Biasanya agak kering, dikerjai, dimainkan.
Ya itu konsekuensi,” ujarnya.
Lagipula, kata Ujang, Jokowi
sudah menegaskan bahwa Nasdem sudah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai
bakal capres dan membentuk Koalisi Perubahan untuk Perbaikan (KPP) bersama
Demokrat dan PKS. Sehingga dianggap sudah berbeda pilihan politik dengan
koalisi pemerintah.
“Kan sering enggak diundang dalam
rapat-rapat dengan koalisi pemerintah. Jadi, kalau sudah begini mestinya
mengambil sikap tegas menjadi oposisi. Sama mulianya. Bahkan lebih mulia
daripada harus ada di pemerintahan saat ini cenderung dikerjai oleh kekuasaan,”
demikian Ujang.
Sebelumnya, Ketua DPP Nasdem
Willy Aditya menyinggung kinerja aparat penegak hukum, kini menjadi sorotan.
Terutama, soal adanya politisasi pada penegakan hukum atas tindakan pejabat
negara.
Saat ini, kata Willy, aparat
penegak hukum kerap melakukan tindakan semena-mena terhadap rakyat. Kondisi
itu, dia kaitkan dengan presiden yang merupakan petugas partai.
Menurutnya, pemimpin yang
berstatus petugas partai, tidak memihak pada rakyat atau semua golongan.
Tetapi, hanya berpihak pada kelompok tertentu saja.
"Karena apa, yang menjadi
presiden petugas partai, bukan pelayan rakyat. Yang menjadi presiden itu harus
pelayan rakyat bukan presiden partikelir," kata Willy saat berbicara dalam
acara diskusi publik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu (17/5).
(*)