SANCAnews.id – Eks Panglima TNI
Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa kekinian telah terjadi hal
yang sangat mengkhawatirkan yakni adanya diskriminasi di Indonesia. Menurutnya,
pemerintah telah gagal memberikan keadilan.
Hal itu
disampaikan Gatot dalam acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Ummat ke-1
di Asrama Haji, Jakarta Timur, Rabu (15/2/2023).
Awalnya, Gatot
mengatakan, rakyat tanpa terkecuali mendambakan kekuasaan yang moralitas dan
keadilan sosial. Menurutnya, kekuasaan yang moralitas adalah kekuasaan yang
seluruhnya dikerahkan hanya untuk rakyat.
Ia pun berharap
jika Partai Ummat berkuasa nanti, bisa menerapkan kekuasaan yang moralitas.
Sebab, kekinian ada hal yang mengkhawatirkan yakni telah terjadi diskriminasi,
terlebih pemerintah juga dinilainya gagal memberikan keadilan.
"Saya
mengharapkan Partai Ummat seperti itu. Karena itu sekarang yang langka. Kenapa
langka? Ada satu hal yang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan terjadi
diskriminasi dan pemerintah telah gagal memberikan keadilan," kata Gatot.
Ia kemudian
memaparkan indikasi terkait kekhawatiran yang disampaikannya tersebut. Dimana
ia mengungkapkan, soal orang yang memiliki lahan tanah.
"Indikasinya
ada org yang mempunyai 5,7 hektar tapi di Jakarta, Bandung, Surabaya, beberapa
kota ratusan penggusuran tanah yang hanya mempunyai satu petak saja,"
tuturnya.
"Contohnya
Papua, untuk sanitasi kebersihan, di Jakarta nilainya 90 lebih tapi di Papua
paling hanya satu atau dua nilainya. Sangat jauh sekali perbedaannya,"
sambungnya.
Belum lagi,
kata dia, jika berbicara soal kekayaan, dmana banyak sekali perbedaan. Hal itu
menurutnya, bisa membuat negara bubar.
"Inilah
yang membuat kita retak dan bisa bubar bangsa ini. Karena di Indonesia ada yang
menikmati surganya Indonesia, tapi lebih banyak yang menikmati nerakanya
Indonesia," tuturnya.
Lebih lanjut,
salah satu hal yang membuat hal tersebut terjadi, kata Gatot, yakni karena
dilatarbelakangi pendidikan yang masih kurang bermutu. Menurutnya, wajar jika
kekinian Tenaga Kerja Asing atau TKA banyak dipakai.
"Tidak
bisa bersaing, maka wajar kalau TKA banyak masuk ke sini. Kita bisa lihat bahwa
karena pendidikannya tidak bermutu, mereka akhirnya berusaha di sektor informal
pun pada jabatan profesi yang paling rendah, dengan gaji paling kecil yang
hanya bisa bertahan untuk hidup agar tidak mati," pungkasnya. (suara)