SANCAnews.id – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonnesia (YLBHI)
menentang keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2
Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang diterbitkn pada Jumat (30/12/2022) sore
lalu.
Melalui keterangan tertulis,
YLBHI menilai penerbitan PERPU ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau
kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan
otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
"Ini semakin menunjukkan
bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak
pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi
bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK," sebut
YLBHI dalam keterangan tertulis yang diutip Senin (2/1/2022).
Mereka menilai, Presiden justru
menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan
pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik
berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan
prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.
Penerbitan PERPU ini jelas tidak
memenuhi syarat diterbitkannya PERPU yakni adanya hal ihwal kegentingan yang
memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses
pembentukan UU seperti biasa.
"Presiden seharusnya
mengeluarkan PERPU Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja
disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat,"
tegas YLBHI.
Tetapi, saat itu Presiden justru
meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat
MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya
dengan menerbitkan PERPU. Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah
harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU.
Dampak perang Ukraina-Rusia dan
ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang
mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan PERPU ini. Alasan kekosongan
hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi
dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah
menyatakan inkonstitusional.
Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya juga melarang Pemerintah membentuk Peraturan-peraturan turunan
pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam
perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut.
Penerbitan PERPU UU Cipta Kerja
menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi
memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini jelas tampak dari statemen
pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan PERPU ini adalah kebutuhan
kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan.
Penerbitan PERPU ini semakin
melengkapi ugal-ugalan Pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba,
UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU
Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain.
Penerbitan di ujung tahun, juga
menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari
masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan
masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.
Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur
menegaskan, pihaknya menuntut beberapa hal terkait penerbitan PERPU itu.
Pertama mereka engecam penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Mereka juga menuntut Presiden
melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU
Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK dan menarik kembali
PERPU No. 2 Tahun 2022.
"Menyudahi kudeta dan
pembangkangan terhadap Konstitusi," ujar Isnur.
Terakhir, mengembalikan semua
pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi,
Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia. (suara)