SANCAnews.id – Ekonom senior yang juga Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli menyebut bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah presiden yang sama sekali tidak peduli dengan aspek demokrasi.

 

Hal ini seperti yang dilihat di kanal YouTube Refly Harun, memperlihatkan Rizal yang seolah sedang melakukan aksi stand up comedy sambil mengkritik pemerintah.

 

"Jokowi tidak pernah berjuang untuk demokrasi. Seumur hidup dia cuma nyari duit doang, (padahal) karena demokrasi dia punya kesempatan jadi presiden," ucap Rizal, dikutip pada Rabu (18/1/2023).

 

Menurutnya demokrasi di era pemerintahan Jokowi perlahan-lahan dipreteli. Beberapa lembaga yang semestinya menjaga demokrasi juga dikerdilkan, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau DPR RI yang menurut Rizal dijadikan serupa taman kanak-kanak.

 

Karena itulah Rizal memuji aksi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang sempat menyentil perihal demokrasi di acara puncak HUT ke-50 partainya.

 

"Mbak Mega bagus sekali, dia taat azas, nggak boleh perpanjangan. Dia roasting Jokowi, itu roasting paling canggih. 'Lu tuh nggak ada apa-apanya, jangan mentang-mentang kuasa, pengin tambah lagi', dan sebagainya, dan sebagainya," tutur Rizal.

 

Meski begitu, Rizal menduga kuat Jokowi tidak akan tinggal diam. Di sisi lain, Megawati juga diyakini tidak akan berpangku tangan apabila kubu Istana menyerang balik akibat roasting tersebut.

 

"Tapi jangan lupa, saya kenal Jokowi, saya kenal Luhut Pandjaitan. Mega nggak bakal berhenti, tetap bakal merancang sesuatu," ujar Rizal.

 

"Jadi orang yang tidak pernah berjuang untuk demokrasi, menikmati manfaat demokrasi. Begitu berkuasa, dia preteli," pungkasnya menegaskan.

 

Karena itu pula Rizal mendorong para hadirin forum tersebut untuk memperjuangkan demokrasi Indonesia. Bahkan Rizal sempat berkelakar jumlah orang di tempat tersebut sudah cukup untuk menghadapi Jokowi. (kontenjatim) Intelektual muslim Indonesia, Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Cak Nun dianggap telah melakukan kritik yang menohok langsung ke jantung kekuasaan.

 

"Apa yang dilakukan Cak Nun itu kritik menohok ke jantung kekuasaan. Cak Nun adalah intelektual muslim yang konsisten sejak era Soeharto," ujar analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (18/1).

 

"Kritik-kritik satirnya yang tajam namun kadang jenaka di era orde baru sering dibaca anak-anak muda termasuk saya saat itu. Jadi saya tidak heran dengan keberanian Cak Nun," imbuhnya.

 

Ubedilah menilai, Cak Nun sering tanpa basa-basi melakukan kritik kepada penguasa siapapun. Hal itu dianggap sebagai fungsi intelektual yang berpihak kepada kebenaran, dan mengatakan yang benar mesti pahit dan penuh resiko.

 

"Cak Nun lakukan kritik terhadap tiga kekuatan politik yang berpengaruh di Indonesia saat ini, yang mengendalikan kebijakan saat ini. Yaitu kepada penguasa, pembantu atau penasehat penguasa dan kepada oligarki," kata Ubedilah.

 

Ubedilah menganggap, hal yang menarik ketika Cak Nun menggunakan terminologi abad ke-13 sebelum masehi, yaitu zaman Musa atau Moses. Merujuk pada kisah Fir'aun (penguasa), Haman (penasehat) dan Qorun (oligarki), tiga tokoh antagonis ini musuh Nabi Musa atau Moses.

 

Ciri Fir'aun itu kata Ubedilah, di antaranya penguasa yang merasa paling hebat, merasa paling benar, tidak mau mendengar aspirasi rakyatnya, menindas rakyat kecil dan tidak ada yang mampu menandingi kekuasaannya, semaunya buat aturan, semuanya tunduk kepadanya kecuali Musa.

 

"Jika Cak Nun menyamakan Jokowi dengan Fir'aun itu kritik tajam kepada Jokowi sebagai presiden bukan sebagai individu. Jadi Cak Nun ada benarnya, karena ciri-ciri perilakunya terpenuhi atau mendekati ciri Firaun sebagaimana dijelaskan di atas," jelasnya.

 

Sedangkan ciri Haman kata Ubedilah, adalah penasehat yang menjilat kepada penguasa dengan melegitimasi semua aturan yang dibuat penguasa meskipun aturan tersebut ditolak publik. Di saat yang sama, Haman juga menjadi pelaksana sejumlah proyek Istana.

 

"Dalam konteks Indonesia, ciri ini memang saat ini melekat atau dekat dengan ciri-ciri Luhut Binsar Pandjaitan yang terkonfirmasi ketika LBP memegang belasan jabatan di sejumlah projek. Jadi jika Cak Nun menyebut LBP seperti Haman itu ada benarnya," katanya.

 

Sedangkan Qorun, kata Ubedilah, ciri utamanya adalah oligarki, pengusaha dan gemar menumpuk harta. Sehingga, ada benarnya jika Cak Nun menyebut 10 naga adalah Qorun.

 

"Jika perilaku seperti Firaun, Haman dan Qorun masih terus terjadi, itu keadaan yang berbahaya bagi masa depan demokrasi, masa depan kemanusiaan dan masa depan kesejahteraan rakyat," pungkasnya. (rmol)

Label:

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.