SANCAnews.id – Para kepala desa melalui PP Papdesi pada Selasa
(17/1/2023) lalu melakukan unjuk rasa meminta masa jabatan mereka diperpanjang.
Aspirasi tersebut seolah langsung
dibayar tunai dengan sinyal kuat persetujuan dari Presiden. Adanya aspirasi
tersebut kemudian memunculkan berbagai macam pro dan kontra dari berbagai
pihak.
Tidak sedikit orang yang menyebut
bahwa isu perpanjangan masa jabatan kepala desa ini merupakan kepentingan untuk
Pemilu 2024.
Melansir dari berbagai sumber,
isu perpanjangan masa jabatan kepala desa ini disuarakan para kepala desa yang
berdemonstrasi menyuarakan aspirasi di depan gedung DPR, pada hari Senin 16
Januari 2023.
Mereka meminta Pasal 39 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini direvisi, sehingga masa
jabatan yang awalnya enam tahun bisa menjadi sembilan tahun. Maka, kalau
maksimal dua periode, kepala desa bisa menjabat selama 18 tahun lamanya.
Adapun alasan perpanjangan masa
jabatan adalah masa jabatan enam tahun tidak cukup untuk melakukan pembangunan
desa. Para kepala desa juga meminta Pilkades 2024 ditunda terlebih dahulu agar
tidak mengganggu Pemilu 2024.
Diketahui, Presiden Joko Widodo
(Jokowi) diklaim telah setuju dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Klaim tersebut disampaikan oleh politikus PDIP, mantan anggota DPR yang dulu
mendukung UU Desa, Budiman Sudjatmiko.
Melansir dari berbagai sumber,
Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar juga setuju dengan adanya perpanjangan
masa jabatan kepala desa.
Tidak hanya itu, Kepala Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana
juga setuju. Dalam parlemen, suara setuju tersebut juga disampaikan oleh Wakil Ketua
MPR sekaligus anggota DPR dari PDIP, Ahmad Basarah.
Namun, hal ini juga menuai
kecurigaan dari berbagai pihak. Melansir dari berbagai sumber, pakar hukum tata
negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mencurigai isu perpanjangan masa
jabatan kepala desa ini.
Konteks waktu aspirasi ini yaitu
dalam momen tahun politik menjelang Pemilu 2024. Bukan hal yang tidak mungkin,
Feri menyebut bahwa kecurangan juga dilangsungkan oleh satuan pemerintah
terendah yaitu desa. Maka, aspirasi ini sejatinya perlu disikapi secara kritis.
Feri menilai, jika aspirasi
tersebut murni demi kebaikan desa, aspirasi itu tidak perlu direalisasikan saat
ini juga. Aspirasi itu bisa dibahas setelah Pemilu 2024.
Merusak Demokrasi
Melansir dari berbagai sumber,
pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai
bahwa wacana perubahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun
bisa saja merusak demokrasi.
Ia mengingatkan bahwa konstitusi
sudah mengatur bahwa masa jabatan seseorang harus dibatasi, misalnya saja
selama 5 tahun bagi presiden, anggota dewan maupun kepala daerah.
Lebih lanjut, ia menambahkan
bahwa lamanya masa jabatan kepala desa bisa membuat mereka menjadi ‘raja kecil’
di daerahnya yang bisa memerintah tanpa adanya pengawasan yang ketat.
Lebih lagi, para kepala desa juga
mempunyai wewenang untuk mengelola dana desa yang jumlahnya tidak sedikit.
(suara)