SANCAnews.id – Pernyataan Presiden Jokowi yang menginginkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) menjadi koordinator informasi intelijen dianggap melabrak ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Presiden Jokowi dianggap tidak paham UU No 17/2011 tentang Badan Intelijen Negara (BIN) yang menempatkan badan telik sandi sebagai koordinator intelijen.

 

Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative Al Araf, menilai keinginan Jokowi tersebut berbahaya. Selain menandakan Kepala Negara tak memahami perundang-undangan, pernyataan Jokowi yang disampaikan usai menghadiri Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertahanan Tahun 2023 di Gedung Kemhan, Jakarta, Rabu (18/1/2023) yang lalu juga bertentangan dengan semangat reformasi pada sektor keamanan.

 

“Pernyataan ini juga akan mengaburkan tata kelola kenegaraan, karena Kementerian Pertahanan bukan leading sector dari pengelolaan informasi terkait dengan keamanan negara. Kementerian Pertahanan bukanlah lembaga yang menurut undang-undang sebagai lembaga koordinasi intelijen negara. Mengacu UU Intelijen Negara, koordinator intelijen yang mengumpulkan informasi intelijen dan keamanan negara adalah BIN,” kata Al Araf, di Jakarta, Jumat (20/1/2023).

 

Dia menyebutkan, Pasal 38 ayat 1 UU BIN menegaskan bahwa BIN berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara. Untuk itu, bila peranan intelijen ini di bawah kewenangan Kemhan maka tata kelola koordinasi intelijen, terutama terkait relasi antarlembaga negara dan kementerian akan menjadi kacau.

 

Selain itu, dia turut mengingatkan bahwa Pasal 3 Perpres No 67/2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara turut menegaskan fungsi koordinator intelijen negara dijalankan BIN yang melaporkannya kepada presiden sekaligus mengoordinasikan intelijen pengamanan. “Untuk itu, sudah jelas secara hukum lembaga yang mengoordinasikan intelijen beserta informasi keamanan negara adalah BIN bukan Kemhan. Presiden tidak boleh melanggar undang-undang tersebut karena itu bentuk pengingkaran atas negara hukum yang ditegaskan konstitusi,” tuturnya.

 

Pernyataan senada juga disampaikan oleh anggota Komis I DPR TB Hasanuddin. Politikus PDIP mengingatkan fungsi koordinator intelijen sesuai konstitusi diemban oleh BIN, bukan kementerian.  “Jadi sudah jelas sesuai undang-undang, BIN adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk melakukan koordinasi penyelenggara intelijen negara dan memadukan atau mensinkronisasi produk-produk intelijen penyelenggara intelijen negara di instansi lain untuk selanjutnya dilaporkan kepada Presiden,” tegasnya.

 

Selepas menghadiri Rapim Kemhan, Presiden Jokowi menyebutkan pentingnya Kemhan menjadi orkestrator informasi intelijen di semua lini. Informasi yang dikelola BIN, TNI, Polri dan BSSN perlu diorkestrai oleh Kemhan. “Itu harus diorkestrasi sehingga menjadi sebuah informasi yang solid. Tiap informasi itu diberikan ke kita untuk membangun sebuah policy, kebijakan, itu saja kesimpulannya,” kata Jokowi.

 

TB Hasanuddin melanjutkan, UU tidak mengenal fungsi orkestrasi informasi intelijen sebagaimana yang diatur oleh UU. Sebaliknya, UU menekankan fungsi koordinator intelijen yang menjadi ranah BIN. “idak ada istilah atau peran orkestrator dalam regulasi mengenai intelijen negara,” tegasnya. (inilah)

Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.