SANCAnews.id – Di tengah panasnya isu soal kenaikan biaya haji 2023
oleh Pemerintah Indonesia hingga Rp 69 juta, Arab Saudi justru dikabarkan akan
menurunkan biaya paket haji tahun 2023 hingga 30 persen.
Gulf News melaporkan bahwa
Perwakilan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, Amr bin Reda Al Maddah telah
mengonfirmasi soal penurunan biaya paket tersebut.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah, Hilman Latief membenarkan soal penurunan biaya haji oleh Arab Saudi
tersebut.
Mengutip dari laman resmi
Kemenag.go.id, biaya yang diturunkan oleh Pemerintah Arab Saudi tersebut adalah
paket layanan haji yang berupa layanan dari 8-13 Zulhijjah di Arafah,
Muzdalifah, dan Mina yang biasa disebut Armuzna atau Masyair.
Rinciannya, Pemerintah Arab Saudi
menawarkan empat paket layanan Masyair tahun 1444 H/2023 M untuk warga domestik
sebagai berikut:
1. Mulai SAR 10,596 - SAR 11,841
(sekitar Rp43 juta - Rp48 juta)
2. Mulai SAR 8,092 - SAR 8,458
(sekitar Rp33 juta - Rp34,5 juta)
3. Mulai SAR 13,150 (sekitar
Rp53,6 juta)
Saudi menawarkan juga paket
keempat, mulai SAR 3,984 (sekitar Rp16 juta), namun tidak ada layanan di Mina
(hanya akomodasi dan konsumsi di Arafah dan Muzdalifah)
“Itulah yang disebut paket
layanan haji yang ditangani oleh Syarikah atau perusahaan di Saudi. Harganya
pada tahun lalu karena alasan pandemi, naik sangat signifikan. Tahun ini
alhamdulillah diturunkan. Jadi terkait paket layanan haji di Masyair, hitungan
dalam usulan BPIH pemerintah juga turun, kisarannya juga 30% dan itu sangat
signifikan,” tegas Hilman di Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
"Tahun lalu paket layanan
haji (Masyair) 2022 sebesar SAR5.656,87. Alhamdulillah tahun ini selain turun,
Kemenag berhasil negosiasi hingga menjadi SAR4.632,87. Turun sekitar SAR1.024
atau 30%," sambungnya.
Jadi dalam usulan BPIH tahun ini,
kata Hilman, pemerintah sudah melakukan penyesuaian harga sesuai yang
ditetapkan Saudi. Meski demikian, pihaknya tetap mempertahankan kualitas
layanan bagi jemaah di Masyair.
“Kepada perusahaan penyedia
layanan, kami tetap meminta komitmen agar dengan harga yang ditetapkan
pemerintah Saudi itu, layanan yang diberikan kepada jemaah juga tetap
berkualitas,” jelasnya.
Namun demikian, kata Hilman,
komponen BPIH tidak hanya paket layanan haji. Komponen biaya haji yang
diusulkan pemerintah kepada DPR itu juga mencakup layanan akomodasi, konsumsi,
dan transportasi selama di Arab Saudi, baik Jeddah, Makkah, maupun Madinah.
"Di luar Masyair, masa
tinggal jemaah sekitar 30 hari, baik di Makkah maupun Madinah. Ini kita siapkan
semua layanannya," papar Hilman.
Selain itu, penyusunan usulan
BPIH juga memperhatikan komponen kurs Dollar (USD) dan kurs Riyal (SAR). Dalam
usulan itu, asumsi yang digunakan adalah Rp15.300 untuk kurs 1USD, dan Rp4.080
untuk kurs 1SAR. Pada 2022, kurs SAR yang digunakan adalah Rp3.846. Untuk kurs
USD tahun 2022 adalah Rp14.425.
Hal lain yang menjadi perhatian
adalah komponen pesawat. Sebab, ini sangat bergantung pada harga avtur.
“Usulan pemerintah terkait BPIH
1444 H itu belum final, karena terbuka untuk dibahas bersama dengan Komisi VIII
DPR. Semoga kita bisa mendapatkan rumusan yang paling pas terkait biaya haji
tahun ini,” tandasnya.
Kenapa BIPIH Naik?
Kemenag mengusulkan BPIH tahun
ini naik dibanding 2022. Kenaikannya sebesar Rp514.888,02. Sebab, rata-rata
BPIH yang diusulkan tahun ini adalah Rp98.893.909,11. Sementara rerata BPIH
2022 sebesar Rp98.379.021,09.
Lantas, kenapa Biaya Perjalanan
Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jemaah dalam usulan pemerintah justru naik?
Hilman menjelaskan bahwa itu
terjadi karena perubahan skema prosentase komponen Bipih dan Nilai Manfaat.
Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70% Bipih
dan 30% nilai manfaat.
"Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia,
termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," terang
Hilman Latief di Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
Menurutnya, pemanfaatan dana
nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Pada
2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke
jemaah hanya Rp4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar
Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13%, sementara Bipih 87%.
Dalam perkembangan selanjutnya,
komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19% (2011 dan 2012), 25% (2013),
32% (2014), 39% (2015), 42% (2016), 44% (2017), 49% (2018 dan 2019). Karena
Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya
operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dan nilai
manfaat naik hingga 59%.
"Kondisi ini sudah tidak
normal dan harus disikapi dengan bijak," jelasnya.
Nilai manfaat, lanjut Hilman,
bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola
Keuangan Haji (BPKH). Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji
Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat.
Mulai sekarang dan seterusnya, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan
guna menjaga keberlanjutan. "Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus
meningkatkan investasinya baik di dalam maupun luar negeri pasca pandemi
Covid-19 ini, sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi,"
tambahnya.
Jika komposisi Bipih dan Nilai
Manfaat masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan cepat tergerus dan
tidak sehat untuk pembiaayaan haji jangka panjang.
"Jika komposisi Bipih (41%)
dan NM (59%), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal
jamaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai
manfaat," urainya.
Untuk itulah, kata Hilman,
Pemerintah dalam usulan yang disampaikan Menag saat Raker bersama Komisi VIII
DPR, mengubah skema menjadi Bipih (70%) dan NM (30%). "Mungkin usulan ini
tidak populer, tapi Pak Menteri melakukan ini demi melindungi hak nilai manfaat
seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya," tegasnya.
"Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi paling ideal! Amin," tutupnya. (suara)