SANCAnews.id – Menko Polhukam Mahfud MD mengaku menerima banyak
laporan terkait keterlibatan aparat menjadi beking mafia, beking sosok tertentu
termasuk mafia tambang. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluhkan
persoalan ini karena bukan lagi menjadi isu baru di tengah masyarakat. Namun
Mahfud tidak membeberkan apa tindak lanjut yang akan dilakukannya menyikapi
laporan-laporan tersebut.
Menurut Mahfud, aparat penegak
hukum menjadi rikuh jika menerima laporan pidana berkaitan tambang, lantaran
seniornya membekingi tambang itu. Padahal seniornya sudah purnawirawan. Soal
ini dikeluhkan Mahfud kepada Sesmenko Polhukam Letnan Jenderal TNI Teguh Pudjo
Rumekso.
“Kemarin saya tanya kepada Pak
Sesmenko, Pak itu tentara kalau sudah pensiun punya kekuatan apa? Kok di
laporan saya tuh banyak membeking orang. Membekingi mafia, jenderal inilah,
jenderal ini,” kata Mahfud, dalam konferensi pers, Penyampaian Catatan Akhir
Tahun Menko Polhukam di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Dia menegaskan praktik beking
seperti ini sudah sejak lama terjadi. Atas dasar ini Mahfud meminta Polri untuk
berani menyikat aparat yang sudah tidak memiliki pengaruh di satuan namun
memagari oknum-oknum yang membuat resah masyarakat. Hanya saja persoalan ini
tidak jelas tindak lanjutnya.
Sewaktu menghadiri Rakernas
Satgas Saber Pungli, di Jakarta, Selasa (13/12/2022), Mahfud turut mengeluhkan
persoalan tingkah laku aparat yang menjadi beking mafia. Bahkan membekingi
mafia yang mengambil pungutan kepada masyarakat.
“Saya katakan lho kenapa kita
berpura-pura bahwa ini ada beking? Kita ndak bisa selesaikan karena senior yang
beking. Kenapa kita pura-pura, mari kita selesaikan ini,” kata Mahfud.
Dia menegaskan pemerintah tengah
berupaya memperbaiki tata kelola pertambangan. Namun lagi-lagi Mahfud tidak
membeberkan progres tata kelola yang dimaksud, kecuali mengeluhkan maraknya
perizinan yang mengakibatkan kerugian negara namun pemerintah tidak bisa
berkutik.
Mahfud menyinggung adanya
pemberian izin usaha pertambangan dan izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang
merugikan negara namun tidak bisa disentuh lantaran masa izin belum habis.
“Kalau kita langsung cabut gak boleh, itu melanggar hukum sehingga banyak
sekali masalah yang dulu dikontrakkan dengan cara kolutif,” paparnya.
Persoalan serupa terjadi dalam
kasus PT Freeport yang mengharuskan pemerintah menunggu hingga masa izin habis
untuk mengevaluasi perizinan. “Ketika izin habis mau dicabut oleh pemerintah 10
tahun sebelumnya tidak ada yang tahu karena izinnya diperpanjang. Kan kita
harus menunggu sampai habis tahun 2016,” tuturnya. (inilah)